Ia mati dalam usia yang masih muda, 26 tahun atau 27 tahun kurang sedikit. Ia juga menolak bersekolah formal sejak masih usia abege.Â
Saya menyaksikan (lagi) malam perayaan untuknya di hari peringatan merdeka. Hal yang cenderung baru di negeri ini ketika peringatan hari merdeka dikaitkan dengan hidup dan karya seorang sastrawan. Peringatan itu berjudul Merayakan Chairil Anwar. Grup Tempo yang melaksanakannya.
Di malam merayakan ini, ada pejabat politik dari menteri hingga bupati juga para aktor/aktris, hadir dan membacakan puisi. Ini juga menarik. Pejabat politik yang biasanya muncul di televisi dengan wajah dingin dan mulut dengan kata-kata yang serius kali ini membacakan puisi dengan keseriusan yang tidak bisa disembarangkan. Sedang para pemain peran itu pun sama, ketrampilan menerjemahkan naskah ke dalam peran kali ini ditantang memaksimalkan ketrampilan penghayatan.Â
Tapi bukan itu yang bikin saya tertarik. Bukan karena kehadiran pejabat politik dan pegiat seni peran yang juga menunjukkan jejaring pengaruh dari grup Tempo ini.
Saya hanya tertarik pada sedikit pengantar tentang Chairil Anwar yang direnungkan Goenawan Mohamad. Lebih khusus tentang apa yang dimaknai lelaki yang pernah mengajak berkelahi Paus Sastra Indonesia tentang kata.
Kata tidak dibentuk oleh kesadaran yang berpikir. Kata dibentuk oleh aku yang ada di dunia, begitulah katanya.
Bagaimanakah sebaiknya ini dimengerti?
Mungkinkah kata-kata tidak mengalami berpikir terlebih dahulu? Mungkinkah kata-kata lahir dari ketiadaan pikiran pada makhluk yang memiliki sistem simbol bernama bahasa?
Tentu saja tidak. Sebab setiap kata yang keluar dari mulut berbicara dengan sistem bahasa tetap harus menggunakan pikiran agar dapat mengakses kata-kata yang dapat dimaknai lawan bicara. Bahasa memang soal kesepakatan pada kaidah, pada language. Karena itu pkiran manusia harus dibiasakan pada kaidah-kaidahnya.Â
Lantas apa yang bisa dimaknai sedikit berbeda dengan kata-kata di atas?
Barangkali ini tentang peradaban bahasa yang terus dipaksa menjadi saintifik. Dengan kata lain merujuk pada kata-kata yang digunakan dalam kategori-kategori ilmiah. Yang dipelihara dalam kategori-kategori ilmiah sebagai satu-satunya ekspresi kata-kata yang benar dan patut.
Menjadi ilmiah adalah wakil dari ekspresi yang rasional dan memiliki kebenaran.
Kata-kata seperti ini lahir sesudah menghabisi dua ekspresi kata sebelumnya: kata dalam bahasa metafisik dan teologik, kalau kita menggunakan evolusi perkembangan masyarakat tiga tahap Auguste Comte. Kata-kata dalam bahasa ilmiah adalah kata-kata dalam peradaban positivistik, dalam pengertian Comte.
Jadi kesadaran yang berpikir adalah kesadaran yang tersaintifikkan. Di luar ini, barangkali dipandang pra kesadaran atau kesadaran yang masih belum matang. Atau diposisikan sebagai kegilaan.
Chairil Anwar sepertinya menolak yang seperti ini. Menolak bahwa satu-satunya ekspresi kata yang patut adalah yang saintifik. Dan kemudian kita tahu dalam sejarah pergulatan kata, yang saintifik dibongkar habis oleh mereka yang muncul belakangan dengan judul posmodern.
Kata-kata saintifik yang pongah kini menjadi kesadaran yang hidup dalam produksi resiko. Segala yang dicapainya, dijudulinya kemajuan, kini tampak ringkih dan mengenaskan.
Ia membuat krisis ekologi karena merasa telah mengendalikan alam, ia melahirkan potensi perang karena merasa teknologi lebih berkuasa dari filsafat dan sastra. Produksi resiko oleh manusia (manufactured risk) yang kini makin membuka jalan menuju malapetaka peradaban. Resiko yang sudah sepantasnya.
Mengapa sudah sepantasnya?
Karena, mengikuti Habermas, dalam kesadaran positivistik kepentingan dominan yang bekerja adalah kehendak prediksi dan kontrol atas semesta dengan ukuran-ukuran yang bisa dihitung-takar-dieksperimentasikan. Ujungnya adalah kehendak menguasai alam dan manusia.
Kata dalam kesadaran positivistik merasa telah memegang kebenaran sejati, kebenaran karena olah yang ilmiah. Kata-kata seperti ini juga mudah melahirkan fasisme.
Kata-kata dalam kesadaran positivistik jijik pada sensitivitas emosi yang dirawat sastra atau "spekulasi" yang diajukan filsafat.
Sejarah manusia pada hakikatnya menunjukkan bahwa manusia tidak bisa hidup dalam kontrol kesadaran seperti maunya positivisme. Manusia menjadi kering, menjadi seperti robot. Hatinya sepi dan hidupnya rutin lagi kaku. Belum lagi alam yang memberontak dan menghancurkan yang namanya kemajuan dimana-mana. Bahaya perang hancur-hancuran terbayang di depan mata.
Filsafat dan sastra datang untuk mengembalikan kata-kata pada "aku yang hidup di dunia" dan menolak terkendalikan secara total oleh kesadaran positivistik.
Aku yang hidup di dunia adalah aku yang bukan saja fana di depan satu-satunya kepastian bernama kematian, kata Camus.Â
Tapi juga adalah aku yang cengeng, aku yang rindu, aku yang patah hati, aku yang resah dan gelisah, aku yang mengalami kemalangan, aku yang sakit, aku yang licik dan penuh siasat, aku yang jungkir balik memegang makna-makna.
Aku dalam dunia adalah aku yang di sini dan kini dengan segala ketidakilmiahanku.
Aku yang tidak bisa serta merta digolong-golongkan ke dalam kategori moral seolah benda-benda dalam laboratorium ilmuwan fisika.
Chairil Anwar agaknya menghendaki kata yang mewaki aku-aku kecil di atas. Bukan AKU (dengan huruf kapital) yang merasa telah berkuasa dan mengendalikan semesta serta sejarah.
Aku dalam kata-kata yang dibutuhkan untuk selalu memberi gugatan pada "yang serba rasional dan saintifik".
Kata sebagai aku yang hidup di dunia masih terus kita butuhkan. Karena hidup tidak melulu tentang yang rasional, benar, dan tentang menguasai. Hidup juga tentang "pengembaraan di negeri asing. Dan ketika aku tiba di depan pintuMu, aku tiada bisa berpaling."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H