Filsafat dan sastra datang untuk mengembalikan kata-kata pada "aku yang hidup di dunia" dan menolak terkendalikan secara total oleh kesadaran positivistik.
Aku yang hidup di dunia adalah aku yang bukan saja fana di depan satu-satunya kepastian bernama kematian, kata Camus.Â
Tapi juga adalah aku yang cengeng, aku yang rindu, aku yang patah hati, aku yang resah dan gelisah, aku yang mengalami kemalangan, aku yang sakit, aku yang licik dan penuh siasat, aku yang jungkir balik memegang makna-makna.
Aku dalam dunia adalah aku yang di sini dan kini dengan segala ketidakilmiahanku.
Aku yang tidak bisa serta merta digolong-golongkan ke dalam kategori moral seolah benda-benda dalam laboratorium ilmuwan fisika.
Chairil Anwar agaknya menghendaki kata yang mewaki aku-aku kecil di atas. Bukan AKU (dengan huruf kapital) yang merasa telah berkuasa dan mengendalikan semesta serta sejarah.
Aku dalam kata-kata yang dibutuhkan untuk selalu memberi gugatan pada "yang serba rasional dan saintifik".
Kata sebagai aku yang hidup di dunia masih terus kita butuhkan. Karena hidup tidak melulu tentang yang rasional, benar, dan tentang menguasai. Hidup juga tentang "pengembaraan di negeri asing. Dan ketika aku tiba di depan pintuMu, aku tiada bisa berpaling."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H