Apakah saya sedang bicara tentang autentisitas suara, sesuatu yang kini ditertawakan?
Tidak, saya tahu itu hampir mustahil. Derrida yang enigmatik itu sudah menunjukkan cara membongkar suara-suara besar dengan memeriksa jejak suara-suara kecil yang mendukungnya. Â Suara-suara besar itu tidak ada, ia hanya kumpulan kompak dari suara-suara kecil yang disusun dengan tekun dan teliti. Ia seperti pentas orkestra dengan pemain yang terlatih dan dirigen yang berpengalaman.
Jadi, barangkali masalahnya adalah suara-suara dalam kepala ditujukan melayani apa?
Apakah ia melayani dirimu sendiri, dalam arti segala kegusaran hidupmu sebagai satu-satunya rahim yang melahirkannya? Atau melayani dunia di luar dirimu yang barangkali bisu atau terus dibikin tidak bersuara dalam hidupnya?
Dengan kata lain, suaramu atau suara saya, boleh menjadi Narsisus yang menyamar dalam medan percakapan politik, budaya, atau susastra. Narsisus yang tidak melulu mengabadikan tampang dalam wujud yang lahiriah. Tapi Narsisus yang mengawetkan segala "aku-aku" tanpa kenal waktu. Seolah "aku-mu" dan "aku-saya" yang paling layak dipertimbangkan sebagai acuan atau, secara pongah, adalah kebenaran.Â
Narsisus yang akhirnya mati sendirian di tepi kolam.
Di setiap pagi, entah berapa kali 17 Agustus kembali, saya masihlah suara yang kedodoran dengan pertanyaan: suara saya melayani apa? Dan berkali-kali, setiap pagi, saya berusaha membunuh Narsisus yang pejal dalam kepala sendiri.
Semoga saya tidak menyerah!
***
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H