Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Narsisus dan Suara dalam Kepala

18 Agustus 2016   07:36 Diperbarui: 2 September 2016   12:09 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sehari sesudah 17 Agustus, saya masih bangun dengan perisitiwa rutin yang masih sama: menjarang air, merendam pakaian kotor, dan menanti giliran air mengalir dari PDAM. Selanjutnya saya akan duduk dengan segelas kopi dengan kandungan jagung yang lebih banyak, mengepul "tuhan 9 centi", menyalakan laptop, dan "memerdekakan suara-suara dalam kepala". 

Saya ingin memerdekakan suara-suara itu, melepasnya menjadi kata-kata bercerita. Meski begitu, meski setiap pagi yang telah menjadi rutin, suara-suara dalam kepala itu tidak selalu mudah merdeka.

Untuk menjadi merdeka, suara-suara dalam kepala itu membutuhkan cara bercerita yang layak. Mereka perlu diformat, dibentuk, agar terlahir sebagai suara yang layak. Layak bercerita sebagai gagasan, menjadi catatan, layak sebagai bacaan. Di sinilah, memerdekan suara-suara dalam kepala menjadi kata-kata bermakna adalah pergulatan yang tiada sederhana. 

Saya ingat, Tan Malaka pernah bilang, menulis--membuat suara menjadi kata-kata-- seperti ibu melahirkan. Karena itu setiap tulisan memiliki jejak penderitaannya. Ya, Tan Malaka menulis dalam zaman kolonial dimana kata-katanya menjadi ancaman bagi tatanan tersebut. Karena itu ia adalah jenis yang harus dimusnahkan atau paling kurang dijauhkan dari pikiran khalayak yang sudah lelah menderita namun gamang bertindak. 

Tan Malaka menjadi sering menulis dengan nama samaran atau menulis dalam pelarian. Kondisi yang membuatnya mahir membuat jembatan keledai (ezelbruggece) yang menjadi kompas ingatannya. 

Beda Tan, beda Hatta. 

Hatta, lelaki yang tertib dan disiplin adalah jenis yang ketika mengalami pembuangan, ia meminta buku-bukunya dikutsertakan. Tanpa buku, Hatta boleh jadi suara bening yang redup. Bisa jadi suara-suara gelisah dalam kepalanya akan bertumpuk-tumpuk dan membuatnya hidup dalam kepenuhan yang sesak. Kemudian akan kebingungan dalam gemanya sendiri. 

Beda lagi Sukarno, yang suara-suaranya dijadikan petir yang membakar jiwa-jiwa yang kehilangan arah. Petir yang membakar api dimana-mana hingga ke pusat-pusat yang mengendalikan pemerdekaan suara dari lokasi yang jauh. Suara petir yang ketika zaman berganti, kepala pemiliknya sudah mati, namun terus hidup hari ini. 

Saya dan kamu jelas tidak hidup dalam penderitaan memerdekakan suara seperti mereka. Saya juga tidak hendak menjadi abadi manakala suara-suara dalam kepala boleh menjadi cerita yang melampaui sejarah. 

KIta hidup dalam era berlimpah suara-suara. Keberlimpahan yang menandai keterbukaan, tak jarang menjadi suara latah, berpantul dan bergema seperti bola tenis yang dilempar pada ruang persegi. Suara-suara latah yang berpantul hingga berhenti karena lelah atau malah menjadi lebih liar. Kondisi berpantul yang justru bisa mengancam usaha pemerdekaan suaramu sendiri.

Ia mengancam sebab membuat suaramu tidak mewakili gairah-nya sendiri. Suara dalam kepalamu ikut berbaur dalam ramai gema. Menjadi seragam dalam gaung yang bikin bingung. Dan yang paling celaka, rangkaian riwayat pantulan latah perlahan-lahan menjadi rahim yang melahirkan suara-suaramu. Suaramu jadi lebih mirip igauan yang setiap pagi minta dilepaskan, entah di kamar mandi atau di social media.

Apakah saya sedang bicara tentang autentisitas suara, sesuatu yang kini ditertawakan?

Tidak, saya tahu itu hampir mustahil. Derrida yang enigmatik itu sudah menunjukkan cara membongkar suara-suara besar dengan memeriksa jejak suara-suara kecil yang mendukungnya.  Suara-suara besar itu tidak ada, ia hanya kumpulan kompak dari suara-suara kecil yang disusun dengan tekun dan teliti. Ia seperti pentas orkestra dengan pemain yang terlatih dan dirigen yang berpengalaman.

Jadi, barangkali masalahnya adalah suara-suara dalam kepala ditujukan melayani apa?

Apakah ia melayani dirimu sendiri, dalam arti segala kegusaran hidupmu sebagai satu-satunya rahim yang melahirkannya? Atau melayani dunia di luar dirimu yang barangkali bisu atau terus dibikin tidak bersuara dalam hidupnya?

Dengan kata lain, suaramu atau suara saya, boleh menjadi Narsisus yang menyamar dalam medan percakapan politik, budaya, atau susastra. Narsisus yang tidak melulu mengabadikan tampang dalam wujud yang lahiriah. Tapi Narsisus yang mengawetkan segala "aku-aku" tanpa kenal waktu. Seolah "aku-mu" dan "aku-saya" yang paling layak dipertimbangkan sebagai acuan atau, secara pongah, adalah kebenaran. 

Narsisus yang akhirnya mati sendirian di tepi kolam.

Di setiap pagi, entah berapa kali 17 Agustus kembali, saya masihlah suara yang kedodoran dengan pertanyaan: suara saya melayani apa? Dan berkali-kali, setiap pagi, saya berusaha membunuh Narsisus yang pejal dalam kepala sendiri.

Semoga saya tidak menyerah!

***

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun