Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Hari Lahir, Gus!

4 Agustus 2016   18:49 Diperbarui: 4 Agustus 2016   20:59 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun-tahun itu, aku hanya berdiri memandangmu dari balik warga yang berdiri seperti pagar yang dihiasi bendera warna-warni, Gus. Aku tak bisa menjangkaumu. Padahal kau sudah bukan presiden, bukan orang nomor satu lagi di istana. Hingga rombongan membawamu lenyap dalam sebuah rumah. Ada pertemuan khusus, kata seorang penjaga kepadaku.

Aku datang padamu dengan membawa buku kecil yang baru bisa dicetak dengan mesin printer dan dijilid seadanya saja. Buku yang berisikan catatan-catatan sebuah seminar tentang gerakan perempuan. Buku yang diharapkan bisa diberikan sedikit saja catatan pengantar oleh ibu Nyai, istrimu Gus. Buku itu lantas dibawa seorang yang ikut dalam pertemuan tersebut.

Hingga pertemuan selesai, aku tak juga berhasil mendekat tubuhmu yang ditatih. Aku hanya ingin mencium tanganmu. Bukan mencari berkah, aku kangen saja Gus. Aku kangen mencium tangan manusia yang bukunya kubaca ketika kerusuhan meledak di sekitarku.

Buku itu Tuhan Tidak Perlu dibela, berwarna putih. Buku yang berisikan kumpulan tulisan-tulisanmu. Aku membacanya ditemani debur ombak yang sayup-sayup kudengar dari teras kosan. Sedang di berita-berita, kerusuhan masih membakar anak-anak manusia dalam perang saudara.

Beberapa tahun kemudian, kau datang lagi ke kota ini. Sebuah seminar memanggilmu.

Dan sama seperti yang dulu, aku tetaplah jiwa muda yang hanya bisa memandang dari jauh. Terlalu padat manusia di sekitar jalanmu yang dipapah. Ah, belum nasib baikku. Walau sekedar mencium sebentar tanganmu, Gus.

Sesudah itu, tak ada lagi kedatanganmu, ke kota ini. Dan aku hanya memendam keinginan sederhana itu. Kemudian waktu membawaku ke Jakarta, merantau mengikuti irama urbanisasi.

Kau telah sakit-sakitan Gus. Tubuh tambunmu makin payah saja. Sakit menggerogotimu secara pasti. Dan kematian datang juga memanggilmu. 

Ribuan manusia mengantar kepulanganmu. Indonesia kehilangan jiwa yang menjadi pembela minoritas dan yang didiskriminasikan paling gigih. Kehilangan yang sangat mencemaskan di tengah semarak intoleransi dan radikalisme yang makin terbuka.

Aku bahkan tidak bisa melayatimu. Saat itu, aku sedang tertahan di sebuah kota menunggu kepastian kembali ke ibu kota. Aku hanya bisa melihat dari televisi dengan dada sesak haru. Remuk. Sudah pasti, aku tak pernah bisa mencium tanganmu, Gus.

Untuk mengobatinya, aku hadir pada acara khaul di pesantrenmu, Ciganjur.

Sahabatmu, Kiai yang selalu menebar kelembutan dan humor juga maestro puisi, hadir dan berbicara mengenangmu. Quraish Shihab juga mengatakan sesuatu yang sangat penting tentang sosokmu. Tapi sudahlah, tak perlu kuulangi lagi di sini. Para pembencimu pasti jijik sementara para pencintamu tak perlu itu.

Yang jelas, di peringatan wafatmu, siksa pedih belum sepenuhnya pergi, Gus.

Terbayang negeriku hari ini.

Kekerasan karena perbedaan mudah menebar aksi-aksinya. Negara masih juga terbaca payah. Dan seolah tak ada yang memasang badan di depan menghadapi itu, menjadi kanopi yang membagi teduh. Menjadi kanopi yang melindungi perbedaan dari benturan. Menjadi kanopi yang hari ini menjadi kebutuhan mendesak atas situasi dunia yang geger oleh terror dimana-mana.

Aku tahu bahwa romantisme yang cengeng hanya akan jadi pelarian diri yang tolol.

Hidup harmonis dalam perbedaan harus diperjuangkan bersama-sama. Setiap generasi harus memberi investasi sosio-kulturalnya, dengan segenap kemampuan yang bisa. Bahkan ketika Negara tampak sempoyongan, kita tidak boleh menyerah. Iya kan Gus?

Kau sudah memberi pelajaran. Kita harus melanjutkan dengan tantangan-tantangan zaman kita sendiri. Semoga kita berhasil. Amin.

Jadi Gus, di hari kelahiranmu, aku ingin membaca sebuah puisi dari Joko Pinurbo. Puisi yang menjadi prasasti sejarah kejatuhanmu.

Durrahman

Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.

Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kubereskan sekarang juga.”

Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.

Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.

(2010)

Selamat Hari Lahir, Gus Dur.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun