Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Hari Lahir, Gus!

4 Agustus 2016   18:49 Diperbarui: 4 Agustus 2016   20:59 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sahabatmu, Kiai yang selalu menebar kelembutan dan humor juga maestro puisi, hadir dan berbicara mengenangmu. Quraish Shihab juga mengatakan sesuatu yang sangat penting tentang sosokmu. Tapi sudahlah, tak perlu kuulangi lagi di sini. Para pembencimu pasti jijik sementara para pencintamu tak perlu itu.

Yang jelas, di peringatan wafatmu, siksa pedih belum sepenuhnya pergi, Gus.

Terbayang negeriku hari ini.

Kekerasan karena perbedaan mudah menebar aksi-aksinya. Negara masih juga terbaca payah. Dan seolah tak ada yang memasang badan di depan menghadapi itu, menjadi kanopi yang membagi teduh. Menjadi kanopi yang melindungi perbedaan dari benturan. Menjadi kanopi yang hari ini menjadi kebutuhan mendesak atas situasi dunia yang geger oleh terror dimana-mana.

Aku tahu bahwa romantisme yang cengeng hanya akan jadi pelarian diri yang tolol.

Hidup harmonis dalam perbedaan harus diperjuangkan bersama-sama. Setiap generasi harus memberi investasi sosio-kulturalnya, dengan segenap kemampuan yang bisa. Bahkan ketika Negara tampak sempoyongan, kita tidak boleh menyerah. Iya kan Gus?

Kau sudah memberi pelajaran. Kita harus melanjutkan dengan tantangan-tantangan zaman kita sendiri. Semoga kita berhasil. Amin.

Jadi Gus, di hari kelahiranmu, aku ingin membaca sebuah puisi dari Joko Pinurbo. Puisi yang menjadi prasasti sejarah kejatuhanmu.

Durrahman

Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.

Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kubereskan sekarang juga.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun