Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Pokemon Go dan Reaksi-reaksinya

24 Juli 2016   13:01 Diperbarui: 24 Juli 2016   14:01 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seumur hidup kuliah—artinya sekarang sudah tidak lagi-- game yang sering menyita waktu saya hanya satu saja. Football Manager namanya. Saya bermain game ini dari tampilannya yang masih berbentuk blukot: bulat-bulat kotak-kotak sampai memiliki visual manusia dan stadion.

Football Manager adalah game dengan data pemain yang detil, khususnya data base pemain yang bertebaran di liga Eropa dan Amerika Selatan. Saking detilnya, data pemain-pemain yang belum ramai di media massa sudah tersedia. Termasuk pemain muda yang tergolong wonder kid. Dengan kata lain, sebelum media heboh dengan pemain-pemain muda berbakat, para pegiat Football Manager sudah memainkan itu dalam imajinasi mereka sebagai virtual manager. Seolah saja sudah mendahului “takdir sejarah”.

Saya jadi kagum luar biasa pada manusia-manusia yang bekerja menyusun data base game ini. Hebat, mereka boleh menyusun detail yang bukan saja komplit namun juga memiliki kemampuan “melampaui kenyataan berjalan”. Kehendak melampaui kenyataan inilah yang kiranya menjadi salah satu candu yang dipelihara oleh Football Manager.

Ingatan saya terhadap game ini muncul kembali karena reaksi  terhadap booming Pokemon Go. Paling tidak ada dua bentuk reaksi yang sementara bisa digarisbawahi.

Pertama, mereka yang bergembira ria bukan kepalang sampai dalam kumpulan yang berburu Pokemon di pusat-pusat ruang publik seperti di Monas Jakarta atau pantai Losari Makassar hingga boleh naik sebagai news media massa. Dan yang kedua, apalagi kalau bukan reaksi badan-badan Negara yang mewanti-wanti bahkan melarang aparatusnya ikut dalam euphoria berburu Pokemon.

Dirangsang oleh dua reaksi umum yang tumbuh kontras antara masyarakat dan Negara: gembira dan melarang, suka cita dan waspada. Saya terus jadi penasaran dan bertanya pada seorang kawan yang sudah memasang aplikasi game ini.

Dari penjelasan sederhananya, semoga tidak salah tangkap, Pokemon Go adalah game yang menyambungkan ketegangan berburu dalam dua media. Yakni ketegangan yang real dan virtual dimana lewat layar hand phone kita dituntun untuk mencari jejak dan menangkap Pokemon sembari berjalan di dunia nyata. Di pertemuan inilah rasanya daya tarik Pokemon Go, ketika ia mengompres dunia digital dan sosial dalam satu permainan.

Berbeda dengan Football Manager atau kebanyakan game, para pemainnya hanya terikat dalam yang virtual. Imajinasinya saja yang bekerja kemana-mana tanpa membawa tubuh berjalan di depan layar, hand phone atau komputer. Pokemon Go melampaui keduanya bukan?

Terhadap ajakan untuk berburu dalam pengalaman virtual sekaligus sosial gaya Pokemon, saya sih tidak tertarik untuk membenamkan diri. Walau ada nada-nada yang memberi alasan bahwa bermain game ini sebagai bentuk menghidupkan nostalgia, tetap saja nostalgia saya adalah film kartun Saint Seiya atau Elang Perak yang pernah tayang di RCTI. Paling jauh nostalgia masa kecil ya si Unyil lah. 

Nostalgia memang perkara subyektif, tidak bisa dipertentangkan. Hanya saja ada sedikit ganjalan. 

Saya kok merasa, terhadap para pemuja Pokemon yang bilang melarang Pokemon atau bersikap sinis dengan mengaitkan game ini sebagai konspirasi Yahudi dan sebagainya, adalah tanda dari jiwa-jiwa kurang piknik, saya jadi bertanya-tanya: jangan-jangan sama-sama kurang piknik?

Pasalnya yang merayakan perburuan Pokemon hingga berjubel di sudut-sudut ruang publik juga yang menentangnya sampai membuat dalil etimologi kemana-mana di social media, di mata saya, tampil sebagai dua keganjilan digital yang “sama sakitnya”. Apalagi mengetahui jika dua kubu yang berseberangan sudah sama-sama manusia di atas masa puber ABG.

Apa pasalnya?  Sederhana: reaksi keduanya sudah sama-sama berlebihan. Bahkan kekanak-kanakan, infantilisme produk digital.

Saya kemudian jadi curiga yang bereaksi overdosis terhadap Pokemon, tidak penting menentang atau merayakannya, bisa jadi memiliki masa kecil yang tidak nakal dan penuh petualangan. Atau masa kecil yang hanya habis waktunya mengonsumsi televisi saja.

Memangnya ada yang lebih seru dari masa kecil dengan pengalaman adu tanding sepakbola keliling kompleks seperti sedang tour sebagaimana dilakukan tim-tim besar Eropa jelang pra-musim? Atau bermain petak umpet—di Jayapura, Papua disebut main enggo alias sembunyi-sembunyi—hingga lupa pada adzan Magrib dan dijemput ibu dengan batas beluntas? Atau bermain perang-perangan di pinggir bukit sejak pagi hingga malam menjelang dan ketika tiba di depan halaman sudah ditunggui ayah dengan sandal jepit yang penuh kesal?

Bagi saya, permainan masa kecil di atas jauh lebih berkualitas karena ia mengreasi imajinasi anak-anak ke dalam ruang imajiner yang baru. Ia membentuk dunia permainan yang serius sekaligus main-main. Misalnya dalam permainan perang-perangan, siapa pun yang tertembak duluan harus mati dan karena itu juga keluar dari permainan. Ada kesepakatan yang harus ditaati. Selain itu, keseruan dalam berburu dan membunuh musuh dalam perang-perangan juga lebih melatih ketangkasan dan kehati-hatian. Dan jika berhasil menghabisi musuh, ekstase permainannya lebih meledak.

Terbalik dengan Pokemon Go atau game pada umumnya, menurut saya, imajinasi kita lebih cenderung didikte oleh kekuatan citra visual. Kita bukan subyek dalam permainan berbeda dengan berburu musuh dalam permainan perang…(ciee bahasanya..subyek..). Tidak ada tantangan mencapai ekstase yang sejati di sini, bagi saya.

Lantas bagaimana dengan reaksi dari Negara (dengan n huruf kapital)?

Saya sungguh tidak mengerti benar soal IT dan sabotase intelijen, tapi ini jenis reaksi yang juga rasanya berlebih. Andai benar Pokemon Go memfasilitasi aksi memantau gaya intelijen, ya negara bekerjalah menciptakan sistem pencegahnya tanpa harus menimbulkan bola salju opini. Masa iya berpuluh tahun merdeka untuk menciptakan system tersebut saja masih kelabakan? Atau perlu konsultan asing?

Saya bukan tidak percaya jika model perang sudah bergeser dari konvesional ke digital dan tidak lagi satu arena namun sudah multiple. Hanya saja, reaksi seperti di atas rasanya menunjukan ketakutan atau ketidaksiapan postur intelijen nasional dalam membentengi Negara dari dinamika intelijen era digital. Dengan kata lain, nalar dan mentalitasnya sudah out of date (?).

Dan, tentang PNS yang dilarang bermain Pokemon, saya kira juga tidak perlu sampai pakai pengumuman segala. Kalau Anda PNS yang digaji untuk melayani publik, tahu diri sajalah. Jangan habiskan waktu untuk melayani gairah berburu Pokemon yang ganjil itu. Sama juga terhadap Anda yang berseragam militer.

Sederhana saja kan?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun