Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Pokemon Go dan Reaksi-reaksinya

24 Juli 2016   13:01 Diperbarui: 24 Juli 2016   14:01 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pasalnya yang merayakan perburuan Pokemon hingga berjubel di sudut-sudut ruang publik juga yang menentangnya sampai membuat dalil etimologi kemana-mana di social media, di mata saya, tampil sebagai dua keganjilan digital yang “sama sakitnya”. Apalagi mengetahui jika dua kubu yang berseberangan sudah sama-sama manusia di atas masa puber ABG.

Apa pasalnya?  Sederhana: reaksi keduanya sudah sama-sama berlebihan. Bahkan kekanak-kanakan, infantilisme produk digital.

Saya kemudian jadi curiga yang bereaksi overdosis terhadap Pokemon, tidak penting menentang atau merayakannya, bisa jadi memiliki masa kecil yang tidak nakal dan penuh petualangan. Atau masa kecil yang hanya habis waktunya mengonsumsi televisi saja.

Memangnya ada yang lebih seru dari masa kecil dengan pengalaman adu tanding sepakbola keliling kompleks seperti sedang tour sebagaimana dilakukan tim-tim besar Eropa jelang pra-musim? Atau bermain petak umpet—di Jayapura, Papua disebut main enggo alias sembunyi-sembunyi—hingga lupa pada adzan Magrib dan dijemput ibu dengan batas beluntas? Atau bermain perang-perangan di pinggir bukit sejak pagi hingga malam menjelang dan ketika tiba di depan halaman sudah ditunggui ayah dengan sandal jepit yang penuh kesal?

Bagi saya, permainan masa kecil di atas jauh lebih berkualitas karena ia mengreasi imajinasi anak-anak ke dalam ruang imajiner yang baru. Ia membentuk dunia permainan yang serius sekaligus main-main. Misalnya dalam permainan perang-perangan, siapa pun yang tertembak duluan harus mati dan karena itu juga keluar dari permainan. Ada kesepakatan yang harus ditaati. Selain itu, keseruan dalam berburu dan membunuh musuh dalam perang-perangan juga lebih melatih ketangkasan dan kehati-hatian. Dan jika berhasil menghabisi musuh, ekstase permainannya lebih meledak.

Terbalik dengan Pokemon Go atau game pada umumnya, menurut saya, imajinasi kita lebih cenderung didikte oleh kekuatan citra visual. Kita bukan subyek dalam permainan berbeda dengan berburu musuh dalam permainan perang…(ciee bahasanya..subyek..). Tidak ada tantangan mencapai ekstase yang sejati di sini, bagi saya.

Lantas bagaimana dengan reaksi dari Negara (dengan n huruf kapital)?

Saya sungguh tidak mengerti benar soal IT dan sabotase intelijen, tapi ini jenis reaksi yang juga rasanya berlebih. Andai benar Pokemon Go memfasilitasi aksi memantau gaya intelijen, ya negara bekerjalah menciptakan sistem pencegahnya tanpa harus menimbulkan bola salju opini. Masa iya berpuluh tahun merdeka untuk menciptakan system tersebut saja masih kelabakan? Atau perlu konsultan asing?

Saya bukan tidak percaya jika model perang sudah bergeser dari konvesional ke digital dan tidak lagi satu arena namun sudah multiple. Hanya saja, reaksi seperti di atas rasanya menunjukan ketakutan atau ketidaksiapan postur intelijen nasional dalam membentengi Negara dari dinamika intelijen era digital. Dengan kata lain, nalar dan mentalitasnya sudah out of date (?).

Dan, tentang PNS yang dilarang bermain Pokemon, saya kira juga tidak perlu sampai pakai pengumuman segala. Kalau Anda PNS yang digaji untuk melayani publik, tahu diri sajalah. Jangan habiskan waktu untuk melayani gairah berburu Pokemon yang ganjil itu. Sama juga terhadap Anda yang berseragam militer.

Sederhana saja kan?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun