Kalau Anda yang terbiasa bolak-balik naik kereta jenis KRL, tulisan ini tidak akan bermakna apa-apa. Tapi bagi saya, yang datang dengan segenap udik pinggiran yang setia menyala-nyala, kisah di bawah ini adalah pengalaman penting.
Saya naik KRL bukan sekali dua kali. Hanya tidak intens, frekuensinya rendah, hanya ketika sedang di Bogor atau Jakarta saja. Lalu apa bedanya cerita ini dengan sebelumnya?
Kali ini, tanggal 19 Juli 2016, di KRL, saya belajar tega!
Jadi ceritanya dari Stasiun Kramat, saya hendak menuju Cilebut. Waktu kala itu menunjuk pukul delapan lewat sekian menit. Saya hendak ke kantor, rapat koordinasi, lalu kembali ke pinggiran sungai di mana saya hanya akan naik perahu ke mana-mana. Dari stasiun kecil di bilangan Percetakan Negara ini, saya harus memutar ke Tenabang dulu. Padahal saya bisa saja ke Stasiun Manggarai atau Tebet, yang jarak tempuhnya lebih dekat ke Cilebut, tentu saja. Tapi kali ini saya ingin, sekali lagi, belajar tega.
Dan bersama tas panggul Deuter yang lumayan sarat isinya serta tas kecil yang serupa selempang, saya masuk dan berdiri. Dalam berdiri itu, saya sempat mencuri beberapa gambar, mengabadikan suasana dengan gawai ASUS Zenfone 5. Masih tidak terlalu padat manusia tapi tempat duduk telah penuh terisi.
Dua stasiun dari Kramat, saya akhirnya bisa duduk. Dalam hati tumbuh suara nyaring, mari kita mulai belajar tegamu, Ji. Batok kepala seolah keluar dua tanduk kecil. Aha!
Saya duduk, memangku tas berat itu, mendekatkan lidah topi yang mirip milik Subcommandante Marcos, lalu mulailah berakting: pura-pura lelah dan butuh tidur. Tak lama kemudian, naik dua karyawati duduk di sebelah kanan saya, masih wangi dan segar. Mereka bercakap tentang waktu kerja yang menguras energi. Dan tanpa bonus, hiiks.
Saya menguping dalam akting tidur. Kereta terus melaju sembari sesekali disertai pengumuman tiba di stasiun atau pintu akan segera ditutup.
Setiap penghentian stasiun, dari balik lidah topi yang pendek, saya memeriksa siapa saja yang masuk. Ada ibu-ibu bersama anak. Ada orang tua yang mungkin pulang belanja. Ada karyawan yang sedang tergesa-gesa. Khusus ibu-ibu itu, ada yang memasang wajah meminta dimengerti, tapi saya sedang belajar tega. Terus pura-pura tidur. Terus pura-pura sedang kelelahan. Saya berharap mereka menyadari itu dengan melihat tas panggung berukuran sedang di dua paha.
Kali ini kereta sudah mengarah ke Bogor, manusia hilir mudik berganti keluar dan masuk. Ternyata tidak sepadat-padat yang saya bayangkan. Barangkali akan berbeda jika saya bergerak dari arah sebaliknya, dari pinggir menuju pusat pertumbuhan ekonomi di mana manusia-manusia menggadaikan kenyamanan dirinya di kereta karena harus mencari makan.
Sebagaimana pernah, dulu, saya bergerak pagi-pagi dari Cilebut ke Tebet.
Masya Allah, penumpang berjubel sampai menggerakkan badan untuk sekedar berubah posisi saja sulit sekali. Ada rasa sesak bercampur pegal yang menguji kesabaran. Lebih menguji sabar lagi dalam kondisi berjubel, beberapa penumpang lelaki dan masih muda pura-pura tertidur di tempat duduk sementara di depannya seorang ibu sedang menahan lelah sembari menggendong anak. Atau ada seorang tua yang berusaha kuat berdiri hingga tiba di stasiun tujuan.
Hal lain yang saya kenang dari kondisi berjubel dan “adu tega” dalam kereta itu, kaum perempuan paling rentan dengan pelecehan seksual. Saya memang tidak tahu angkanya, tapi saya kira dalam kondisi berdiri-berdesak-berdempetan, kemungkinan itu selalu tersedia.
Pada 19 Juli pagi kemarin itu, kondisi yang saya bayangkan tidak tercipta sempurna. Tapi karena sudah telanjur tersusun dalam niatan, saya tetap merawat akting tidur sembari sesekali mencuri pandang ke sekitar. Saya harus menuntaskan belajar tega di kereta kali ini.
Hingga tiba di Stasiun Bojong Gede, saya baru berdiri dan bersiap turun. Suasana dalam gerbong relatif lengang. Tiba di Cilebut, saya lekas keluar dan menukar kartu dengan uang sepuluh ribu rupiah. Masuk angkot nomor nol tujuh, duduk di depan, dan mulailah mengenang hasil belajar tega.
Saya kira melatih tega adalah memulai dengan mengawetkan sikap masa bodoh yang berkawin dengan menonjolkan sisi privasi di ruang transportasi publik/massal setiap hari. Dua sikap ini diperkuat oleh watak komodifikasi dalam layanan publik. Maksudnya, karena saya membayar seperti Anda, maka posisi kita sama, setara. Prinsipnya, siapa duluan, dia mendapatkan. Tidak perlu merasa kasihan. Tidak usah sibuk dengan jiwa sosial, mari saling berburu selamat duluan.
Kepada yang lansia atau perempuan bersama anak-anak, salah Anda masuk ke ruang seperti ini, bukan yang sejenis saya. Sudah ada gerbong khusus buat perempuan bukan? Jadi ketika Anda tetap memutuskan masuk ke gerbong yang sudah tumbuh dalam “hukum rimba”, siapa yang harus bertanggung jawab? Lagi pula, kita tidak saling kenal, bukan?
Dalam ekstrem sikap yang sedemikian, ada dua peringatan yang terus ikut menggenang di kesadaran saya.
Pertama, makna sesama warga bangsa di dalam kereta yang sesak berjubel penumpang ketika banyak manusia menampilkan adu teganya. Tidakkah ia, bangsa itu, tengah mati dengan saya menggunakan prinsip “saya membayar maka saya berhak” yang membuat hukum rimba tetiba (baca: gairah saling memangsa)? Seolah-olah, kenyamanan dalam ruang transportasi massal seperti berburu diskon barang impor. Tidak ada bangsa dalam hubungan seperti ini, yang ada hanyalah konsumen-konsumen.
Kedua, tentulah tentang kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan yang “dibunuh” dalam ruang-ruang kecil seperti gerbong kereta. Manakala memilih untuk tega, saya sedang merayakan pematian kemanusiaan secara pelan-pelan tanpa perlu menunggu hadir tragedi yang lebih besar, seperti gerbong terbalik misalnya. Sebabnya adalah rasa kemanusiaan dilahirkan dari empati yang terus menyala dan kesediaan diri untuk berkorban terhadap kesulitan orang lain. Dan dalam tega yang berulang lalu banal, kemanusiaan akan jadi perkara langka kalau bukan utopia.
Demikianlah pembelajaran dari aksi tega yang saya peroleh pada sebuah pagi yang sibuk di tanggal 19 Juli 2016. Dari Stasiun Kramat ke Cilebut, pada perjalanan dari pusat ke pinggiran, saya pernah merelakan diri menuruti naluri sub-human. Oh ya, ini tentang saya yang belajar tega. Tidak tentang semua penumpang di dalam kereta.
Salam Pagi, dari Sampit, Kalimantan Tengah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H