Masya Allah, penumpang berjubel sampai menggerakkan badan untuk sekedar berubah posisi saja sulit sekali. Ada rasa sesak bercampur pegal yang menguji kesabaran. Lebih menguji sabar lagi dalam kondisi berjubel, beberapa penumpang lelaki dan masih muda pura-pura tertidur di tempat duduk sementara di depannya seorang ibu sedang menahan lelah sembari menggendong anak. Atau ada seorang tua yang berusaha kuat berdiri hingga tiba di stasiun tujuan.
Hal lain yang saya kenang dari kondisi berjubel dan “adu tega” dalam kereta itu, kaum perempuan paling rentan dengan pelecehan seksual. Saya memang tidak tahu angkanya, tapi saya kira dalam kondisi berdiri-berdesak-berdempetan, kemungkinan itu selalu tersedia.
Pada 19 Juli pagi kemarin itu, kondisi yang saya bayangkan tidak tercipta sempurna. Tapi karena sudah telanjur tersusun dalam niatan, saya tetap merawat akting tidur sembari sesekali mencuri pandang ke sekitar. Saya harus menuntaskan belajar tega di kereta kali ini.
Hingga tiba di Stasiun Bojong Gede, saya baru berdiri dan bersiap turun. Suasana dalam gerbong relatif lengang. Tiba di Cilebut, saya lekas keluar dan menukar kartu dengan uang sepuluh ribu rupiah. Masuk angkot nomor nol tujuh, duduk di depan, dan mulailah mengenang hasil belajar tega.
Saya kira melatih tega adalah memulai dengan mengawetkan sikap masa bodoh yang berkawin dengan menonjolkan sisi privasi di ruang transportasi publik/massal setiap hari. Dua sikap ini diperkuat oleh watak komodifikasi dalam layanan publik. Maksudnya, karena saya membayar seperti Anda, maka posisi kita sama, setara. Prinsipnya, siapa duluan, dia mendapatkan. Tidak perlu merasa kasihan. Tidak usah sibuk dengan jiwa sosial, mari saling berburu selamat duluan.
Kepada yang lansia atau perempuan bersama anak-anak, salah Anda masuk ke ruang seperti ini, bukan yang sejenis saya. Sudah ada gerbong khusus buat perempuan bukan? Jadi ketika Anda tetap memutuskan masuk ke gerbong yang sudah tumbuh dalam “hukum rimba”, siapa yang harus bertanggung jawab? Lagi pula, kita tidak saling kenal, bukan?
Dalam ekstrem sikap yang sedemikian, ada dua peringatan yang terus ikut menggenang di kesadaran saya.
Pertama, makna sesama warga bangsa di dalam kereta yang sesak berjubel penumpang ketika banyak manusia menampilkan adu teganya. Tidakkah ia, bangsa itu, tengah mati dengan saya menggunakan prinsip “saya membayar maka saya berhak” yang membuat hukum rimba tetiba (baca: gairah saling memangsa)? Seolah-olah, kenyamanan dalam ruang transportasi massal seperti berburu diskon barang impor. Tidak ada bangsa dalam hubungan seperti ini, yang ada hanyalah konsumen-konsumen.
Kedua, tentulah tentang kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan yang “dibunuh” dalam ruang-ruang kecil seperti gerbong kereta. Manakala memilih untuk tega, saya sedang merayakan pematian kemanusiaan secara pelan-pelan tanpa perlu menunggu hadir tragedi yang lebih besar, seperti gerbong terbalik misalnya. Sebabnya adalah rasa kemanusiaan dilahirkan dari empati yang terus menyala dan kesediaan diri untuk berkorban terhadap kesulitan orang lain. Dan dalam tega yang berulang lalu banal, kemanusiaan akan jadi perkara langka kalau bukan utopia.
Demikianlah pembelajaran dari aksi tega yang saya peroleh pada sebuah pagi yang sibuk di tanggal 19 Juli 2016. Dari Stasiun Kramat ke Cilebut, pada perjalanan dari pusat ke pinggiran, saya pernah merelakan diri menuruti naluri sub-human. Oh ya, ini tentang saya yang belajar tega. Tidak tentang semua penumpang di dalam kereta.
Salam Pagi, dari Sampit, Kalimantan Tengah.