Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Khutbah Hari Raya

6 Juli 2016   12:13 Diperbarui: 6 Juli 2016   16:15 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mendapati khutbah hari raya yang buruk pagi tadi.

Tapi sebelum saya bercerita terlalu jauh, baiknya diketahui lebih dahulu jika pagi ini saya bangun dengan badan yang meriang. Saya kurang sehat sejak kemarin sore. Saya mungkin kelebihan lelah mempersiapkan hari raya di rumah.

Harus membersihkan ini dan itu. juga belanja ini dan itu. Tenaga habis, uang simpanan juga. Ini bukan berlebihan. Saya hanya ini mereka yang bertamu merasakan disambut dengan baik.

Sesudah mandi saya memakai pakaian yang baik, bukan baru dan berjalan dalam rombongan kecil menuju masjid. Setiba di dekat masjid, beberapa orang bapak sedang duduk. Mereka adalah saudara Kristiani yang ikut menjaga keamanan prosesi sholat Idul Fitri.

“Selamat pagi,” ucap saya. Sembari tersenyum, mereka membalas sapa pagi saya. Saya masuk ke halaman masjid dan mengambil shaf yang mulai padat terisi. Tak lama kemudian shalat Id dilaksanakan dan tibalah saat menyimak khutbah.

Seorang bapak yang juga pegawai pemerintah mulai khutbahnya. Sesudah menyampaikan puji dan puji kehadirat Allah SWT dan shawalat serta salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW, dia masuk ke inti khutbah.

Pertama, dia menceritakan penderitaan umat Islam di dunia. Penderitaan yang diakibatkan oleh bencana ekologis, seperti banjir dan tanah longsor. Si Khatib berpesan tentang pentingnya solidaritas sesama Umat (Ukhuwah Islamiah). Selanjutnya dia masuk pada bencana yang diakibatkan perseteruan ideologi, politik dan perang. Ia menyebut kondisi kaum muslim yang menjadi minoritas dan hidup dalam penindasan. Suara si khatib mulai tinggi.

Saya tertunduk. Dalam hati berharap ia mengeritik mereka yang baru saja membom tanah suci atau negeri-negeri muslim. Tapi tak ada. Tak satu pun “kata-kata keras keluar”. Saya mulai gerah. Mengapa ia menutup mata atas kekejian yang tumbuh dalam  umat Islam dan memakan saudaranya?

Saya ingin sekali berdiri dan pergi. Tapi tentu tidak saya lakukan. Khutbah merupakan bagian dari kesempurnaan shalat Idul Fitri. Saya tetap duduk dengan antusiasme yang meredup.

Kedua, dia mengajak mengenang orang tua, keluarga. Dosa-dosa yang yang sudah kita perbuat kepada mereka, baik yang masih hidup atau pun tidak. Dia berusaha membangun sugesti keharuan dengan menekan bagian-bagian yang sedih dari kondisi orang tua. Bahasa yang sama diulang-ulangnya. Beberapa terkesan diulang sambil menyedu-sedukan suara.

Tapi saya jadi tambah jengah. Jumat kemarin saya juga mendengar khutbah sejenis. Kata-katanya persis. Lagi pula saya tidak bisa bersedih mengenang orang tua di depan cara menyampai yang memaksakan kesedihan. Bagi saya, kesedihan yang jujur sering berkawan sendiri dan sepi. Ini yang saya alami.

Ketiga, manakala si khatib membaca doa. doanya mulai dari keseharian, kehidupan nasional hingga situasi dunia. Doa yang lengkap. Sungguh permintaan yang menyeluruh kepada Sang Khalik. Hanya ada sedikit ganjalan.

Doanya disampaikan seperti mendeklamasi puisi. Deklamasi yang buruk, sungguh buruk. Terkesan berusaha menghadirkan kesedihan namun miskin pemaknaan. Saya lebih jengah dari yang tadi. Saya tidak ikut mengaminkan.

Sesudahnya shalat Idul Fitri selesai. Jamaah berdiri dan saling bersalaman. Saya ikut melakukan yang sama. Di hati rasa jengah mulai berangsur lega. Akhirnya selesai juga. Saya harus pulang, tubuh meriang ini makin bertingkah.

Sepanjang perjalanan pulang, saya terus saja berdialog dengan isi khutbah tadi, di kepala tentunya.

Mengapa khutbah tidak disampaikan dengan suara yang tenang dengan materi yang mengajak jamaah merenung? Bukan dengan suara tinggi dan kehendak sugestif yang mirip propagandis politik itu? Menyampaikan khutbah yang menyentuh keheningan hati dan bukan membakar amarah dengan tidak berimbang menjelaskan kondisinya?

Saya ingat pesan seorang Kiai: dalam mengajak kepada kebaikan, bersikaplah keras ke dirimu sendiri tetapi bersikap lembutlah kepada orang lain.

Saya jadi seperti gelas kosong di depan khutbah seperti barusan. Saya merasa datang ke shalat Idul Fitri yang salah. Ingin rasanya kembali dan menemui si khatib lalu mengajaknya diskusi. Saya ingin menunjukkan materi seperti itu salah dan berbahaya.

Tetiba senyum bapak muncul di benak.

“Anakku, ambillah apa yang baik dan lupakanlah apa yang buruk,” katanya.

Mata saya terus basah. Di pinggir jalan saya tersedu-sedu sendiri. Sekujur badan seketika berkeringan hebat. Keringat dingin. Ya Tuhan, saya sudah merasa sok tahu!

Saya makin terkenang bapak.

10 tahun silam bapak berpulang ke rahmatullah. Bapak yang pensiunan guru itu menghabiskan sisa hidupnya dengan mengasuh taman pengajian dan langgar yang kecil di desa. Lima tahun kemudian, ibu menyusul bapak. Sejak itu langgar tidak lagi menjadi taman pengajian. Tanah dan bangunannya dijual untuk memodali sekolah saya sehingga sekarang boleh menjadi pengajar di perguruan tinggi.

Bapak yang selalu bilang tetaplah rendah hati jika berpengetahuan. Sopan santunlah di hadapan kebenaran. Jangan pernah merasa paling memahami. Bapak yang langgarnya tidak pernah bisa saya urusi.

Ya Tuhanku, baru kemarin Ramadan pergi, saya sudah menggunjing orang di kepala sendiri.

 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun