Ketiga, manakala si khatib membaca doa. doanya mulai dari keseharian, kehidupan nasional hingga situasi dunia. Doa yang lengkap. Sungguh permintaan yang menyeluruh kepada Sang Khalik. Hanya ada sedikit ganjalan.
Doanya disampaikan seperti mendeklamasi puisi. Deklamasi yang buruk, sungguh buruk. Terkesan berusaha menghadirkan kesedihan namun miskin pemaknaan. Saya lebih jengah dari yang tadi. Saya tidak ikut mengaminkan.
Sesudahnya shalat Idul Fitri selesai. Jamaah berdiri dan saling bersalaman. Saya ikut melakukan yang sama. Di hati rasa jengah mulai berangsur lega. Akhirnya selesai juga. Saya harus pulang, tubuh meriang ini makin bertingkah.
Sepanjang perjalanan pulang, saya terus saja berdialog dengan isi khutbah tadi, di kepala tentunya.
Mengapa khutbah tidak disampaikan dengan suara yang tenang dengan materi yang mengajak jamaah merenung? Bukan dengan suara tinggi dan kehendak sugestif yang mirip propagandis politik itu? Menyampaikan khutbah yang menyentuh keheningan hati dan bukan membakar amarah dengan tidak berimbang menjelaskan kondisinya?
Saya ingat pesan seorang Kiai: dalam mengajak kepada kebaikan, bersikaplah keras ke dirimu sendiri tetapi bersikap lembutlah kepada orang lain.
Saya jadi seperti gelas kosong di depan khutbah seperti barusan. Saya merasa datang ke shalat Idul Fitri yang salah. Ingin rasanya kembali dan menemui si khatib lalu mengajaknya diskusi. Saya ingin menunjukkan materi seperti itu salah dan berbahaya.
Tetiba senyum bapak muncul di benak.
“Anakku, ambillah apa yang baik dan lupakanlah apa yang buruk,” katanya.
Mata saya terus basah. Di pinggir jalan saya tersedu-sedu sendiri. Sekujur badan seketika berkeringan hebat. Keringat dingin. Ya Tuhan, saya sudah merasa sok tahu!
Saya makin terkenang bapak.