Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Puasa dalam Keberbedaan, Dua Catatan Pengalaman

14 Juni 2016   05:32 Diperbarui: 14 Juni 2016   21:34 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: bahaiteachings.org

Satu kesempatan yang paling saya kenang adalah ketika duit di kantong hanya tinggal dua puluh lima ribu rupiah. Menjelang senja, saya bingung, mau dibikin apa duit ini? Melihat kalender, jatah kiriman bulanan masih harus menunggu sekitar empat hari ke depan. Itu pun dengan kepastian, ayah dan ibu sudah dibayar gajinya oleh negara. Duh, nasib anak guru.

Akhirnya saya memutuskan ke pasar saja, belanja sekalian membunuh waktu. Setiba di pasar, saya hanya membeli seikat kangkung dan beberapa potong tahu. Ngirit yang terdesak coi. Beras masih aman karena teman asal Sangihe yang mahasiswi kebidanan sudah mendermakan sisa berasnya sebelum pulang kampung. Alhamdulillah.

Saya pulang dan mulai merealisasi bayangan makanan yang sudah membentuk di benak. Seikat kankung itu saya tumis menurut cara masak Manado (dan Anda harus tahu kangkung cah di Manado terkenal nikmat bersama ikan bakar rica-rica). Sedang tahunya, saya bagi dua, bagian pertama langsung digoreng dan sisanya dipotong membentuk dadu. Penambah nikmatnya apalagi kalau bukan sambal terasi pedas. Sementara penutupnya adalah segelas teh manis hangat. Adakah yang lebih nikmat dari menyantap masakan olahanmu sendiri? Super.

Saat berbuka tiba, saya sudah rapi dengan sarung dan peci. Sembari menanti adzan magrib, pikiran saya menerawang ke rumah, ibu sedang memasak apa ya? Pasti ibu memikirkan saya sedang makan apa karena tahu dua teman dari Papua itu sudah pulang ke rumahnya. Mata kemudian sembab dan keperihan itu menikam tanpa bisa ditolak. Tetapi perantau yang tangguh menolak menumpahkan air mata di depan nasi, sayur dan lauk pada sebuah ruang makan yang sepi #sikap.

Tak disangka, tak diduga, ibu kos yang “pelit” itu menghampiri saya. Ia membawa sepiring kue lapis basah dan juga ikan bakar rica-rica. “Ji, ini buat berbuka puasa,”katanya. Saya hanya bisa ternganga, dalam hati terkejut sekaligus terharu. Ibu kos ternyata memperhatikan apa yang saya lakukan di dapur tanpa saya sadari.Maha Besar Allah yang menitipkan cinta kepada sesama manusia sehingga menjadi tidak tersekat pilihan religiositasnya masing-masing. Saya akhirnya boleh santap berbuka dengan kue basah dan santap sahur dengan ikan bakar rica-rica.  

Dua Catatan

Pengalaman berpuasa seperti ini memang terbaca sederhana dan bukan satu-satunya yang spesial di muka bumi manusia. Di banyak lokasi budaya di Indonesia, kita boleh menjumpainya bukan? Namun bagi saya, pengalaman berpuasa dalam perbedaan ini menegaskan beberapa hal yang terus menjadi pengingat diri.

Pertama, berpuasa adalah laku diri, berpuasa adalah madrasah bagi diri. Semua umat Islam mengetahui ini. Yang membedakan adalah manakala menikmatinya dalam kesendirian dan dalam posisi “minor”. Sejujurnya kategori mayor-minor produk kolonial ini tidak suka saya gunakan karena menyimpan kehendak politis yang berbahaya. Seolah saja karena bagian dari yang banyak lalu otomatis memiliki privillege politik untuk serba menentukan atau didahulukan. Sedang kita tahu, dalam kenyataan yang majemuk, kehidupan publik dalam keberbedaan tidak ditentukan oleh kehendak yang mayor, kalau bukan malah akan menjadi bom waktu perpecahan.

Dalam olah diri melalui puasa itu, yang saya alami bukanlah jenis pengalaman spiritual atau esoterisme yang transenden. Yang saya alami hanyalah saat kesendirian sebagai perantau yang menyimpan keterbatasan mengalami  Ramadhan, berpuasa menjadi sarana untuk melatih ruang batin menghadapi keperihan yang sunyi. Keperihan yang sunyi bisa menjadi bekal untuk menjumpai hakikat bahwa ujung dari hidup adalah sendiri-sendiri, kalau kita hendak melihatnya dari kaca mata transendensi.

Kedua,  senada dengan yang dikatakan Jurgen Habermas, filsuf Jerman yang pemikirannya sangat berpengaruh di Abad 21, yakni dalam lingkup kecil (mikroskopik), solidaritas manusia mendahului ihwal yang politis. Artinya adalah dalam ruang keseharian, rasa empati pada mereka yang berpuasa lahir dari kebersamaan hidup harian yang saling menjaga kasih sayang dan menghargai perbedaan acuan teologis. Teman-teman Kristiani saya tidak membutuhkan “regulasi tentang toleransi” untuk menjaga proses berpuasa saya. Mereka tidak butuh itu, tindakan mereka spontan dan tulus.

Dari pengalaman ini, saya meyakini jika mengelola perbedaan atau mengembangkan sikap toleran, misalnya, tidak bisa semata disandarkan pada “keputusan-keputusan politis”. Misalnya saja tentang pelarangan membuka rumah makan di siang hari pada bulan Ramadan atau yang sejenisnya. Keputusan-keputusan politis itu tidak akan mampu membentuk kesadaran sebagai bangsa yang hidup dalam jalan beragama berbeda-beda. Karena kesadaran hidup berbeda seringkali terbentuk dan menjadi tangguh melalui interaksi harian kemanusiaan bersama yang terjadi di ruang-ruang dimana negara tidak selalu bisa berfungsi. Artinya keputusan-keputusan politis (:regulasi) tidak otomatis menjaga sikap toleran kalau bukan malah menghadirkan ketakutan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun