Suasana di dalam lubang tambang emas di Desa Pongkor, Kabupaten Bogor. (Kompas.com)Pagi yang gembira berhenti tetiba.Â
Pengantin muda yang duduk mengenang nikahnya yang baru lewati tiga purnama. Di matanya, genang sedih menyimpan sepi yang mengusir gembira dari pagi.
Lelaki yang dicintainya telah tertimbun bongkah emas yang marah. Dalam sebuah lubang, mimpi menjadi kaya telah menjadi pembunuh yang mengambil hidup suami-suami muda tanpa bicara.Â
Di malam terakhir bersama, ia merasa resah yang terus saja basah.Â
"Setahun ini janganlah dulu menggali emas," pinta ia kepada suaminya yang selalu bergairah. Ia merasa sedang berbicara kepada nahas. Nahas yang terus mengirim firasat yang makin tebal.
"Kalau tak masuk lubang, kita tak punya uang membayar utang beras. Kita tak punya uang menjaga perut kita. Dan aku akan menjadi suami tak berharga."
Suaminya lalu menaiki perahu, menuju lubang-lubang yang setia dijagai maut. Harga diri lelaki, harga diri suami apakah harus selalu dengan menantang maut?Â
"Aku merasa sudah ha....."
Pesan yang tak sempat terucap. Bahagia yang tertahan di kerongkongannya yang cemas. Lelaki pusat cintanya telah hilang di balik kabut pagi.
Sebelum malaikat mau membuka rahasia di balik firasat mimpinya, lambat malam menjadi penantian yang setengah membunuh warasnya. Doa-doa menjadi sebaik-baiknya jalan berserah. Doa yang memohon bahagia mudanya jangan lebih awal dihempas.
Sayang, Tuhan memiliki cara mengirim kematian tanpa pernah bisa ditawar manusia. Suaminya adalah satu yang harus menerima penjemputan dengan terkubur reruntuhan batu dari lubang yang kelam. Doa tak bisa menawar.
Perburuan emas liar telah mewujud keserakahan yang tiada jeda meranggaskan pepohonan. Menghancurkan daya keseimbangan dan pemulihan diri tanah yang terlanjur disiksa mimpi-mimpi menjadi kaya dari para buruh galian yang telanjur dijerat utang. Suaminya, lelaki yang baru melewati tiga purnama menemani tidurnya yang bergairah itu salah satunya.
Menjalani tanggung jawab muda sebagai buruh galian tambang emas hanya mempertahankan hidup dari satu lubang utang ke lubang yang lebih dalam. Cinta mereka hanya bisa menyatukan dua tubuh dalam rumah yang sama tapi tidak untuk memisahkan lelakinya dari lubang-lubang pembunuh itu.Â
Kematian mengerikan dalam lubang galian telah menjadi cara Tuhan menghentikan keserakahan dan memutuskan utang harian dari satu lubang ke lubang itu. Mungkin lebih baik menyisakan duka yang panjang pada hati orang yang ditinggalkan selamanya ketimbang membiarkan mereka hidup dengan meneruskan kerusakan yang membuat berpuluh generasi menjadi korbannya.
Perempuan yang baru menghabiskan tiga purnama bahagia itu mengambil gembira dari pagi. Korneanya basah, hatinya berserah sudah. Berpuluh purnama di muka akan jadi rindunya yang duka.
"Kau harus hidup tanpa mewarisi nasib kelam buruh lubang galian seperti ayahmu, anakku," doanya sambil mengelus rahim yang dirasanya sudah tak lagi sendiri.
Pagi yang tak bergembira kini menjadi gelap. Hujan turun deras sekali di dermaga berkawan raung petir. Dalam hatinya yang basah terbit cahaya. Duka karena petaka lubang galian berangsur sirna berganti pesan menjalani kesementaraan:
Alam selalu memiliki cara menghentikan kerusakan dari mimpi-mimpi manusia yang lupa. Jelata atau kaya, alam memiliki keadilannya sendiri yang tak pandang siapa dia.
Alam yang luka telah memilih mengawetkan duka di hatimu dan bukan cuma kamu. Siapa pula yang bisa menolaknya jika alam telah mengajak petaka?
Cinta kita kepada sesama hendaknya juga adalah cinta kepada alam raya. Cintailah alam sesetia ibu kepada anak-anaknya.
Â
[2016, dari dalam perahu]
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H