Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Petaka Sesudah Tiga Purnama

25 April 2016   08:47 Diperbarui: 25 April 2016   17:25 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perburuan emas liar telah mewujud keserakahan yang tiada jeda meranggaskan pepohonan. Menghancurkan daya keseimbangan dan pemulihan diri tanah yang terlanjur disiksa mimpi-mimpi menjadi kaya dari para buruh galian yang telanjur dijerat utang. Suaminya, lelaki yang baru melewati tiga purnama menemani tidurnya yang bergairah itu salah satunya.

Menjalani tanggung jawab muda sebagai buruh galian tambang emas hanya mempertahankan hidup dari satu lubang utang ke lubang yang lebih dalam. Cinta mereka hanya bisa menyatukan dua tubuh dalam rumah yang sama tapi tidak untuk memisahkan lelakinya dari lubang-lubang pembunuh itu. 

Kematian mengerikan dalam lubang galian telah menjadi cara Tuhan menghentikan keserakahan dan memutuskan utang harian dari satu lubang ke lubang itu. Mungkin lebih baik menyisakan duka yang panjang pada hati orang yang ditinggalkan selamanya ketimbang membiarkan mereka hidup dengan meneruskan kerusakan yang membuat berpuluh generasi menjadi korbannya.

Perempuan yang baru menghabiskan tiga purnama bahagia itu mengambil gembira dari pagi. Korneanya basah, hatinya berserah sudah. Berpuluh purnama di muka akan jadi rindunya yang duka.

"Kau harus hidup tanpa mewarisi nasib kelam buruh lubang galian seperti ayahmu, anakku," doanya sambil mengelus rahim yang dirasanya sudah tak lagi sendiri.

Pagi yang tak bergembira kini menjadi gelap. Hujan turun deras sekali di dermaga berkawan raung petir. Dalam hatinya yang basah terbit cahaya. Duka karena petaka lubang galian berangsur sirna berganti pesan menjalani kesementaraan:

Alam selalu memiliki cara menghentikan kerusakan dari mimpi-mimpi manusia yang lupa. Jelata atau kaya, alam memiliki keadilannya sendiri yang tak pandang siapa dia.

Alam yang luka telah memilih mengawetkan duka di hatimu dan bukan cuma kamu. Siapa pula yang bisa menolaknya jika alam telah mengajak petaka?

Cinta kita kepada sesama hendaknya juga adalah cinta kepada alam raya. Cintailah alam sesetia ibu kepada anak-anaknya.

 

[2016, dari dalam perahu]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun