Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sedikit Pesan Sejarah di Hari Kartini

21 April 2016   09:48 Diperbarui: 21 April 2016   15:51 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: majalahkartini.com"][/caption]Saya adalah pembaca sejarah yang malas.

Karena malas itu pula, saya tergolong bodoh di depan sejarah. Padahal sudah lama menyadari tanpa memahami sejarah masyarakatnya, manusia hari ini mudah kehilangan arah sekaligus akar-akar masa lampaunya sendiri. Dalam kehilangan arah dan akar sejarah ini pada akhirnya yang akan turut merapuh adalah pemaknaan terhadap hidup berbangsa. Ini sama bermakna saya tidak bisa mencintai bangsa dengan sungguh hati tanpa menyadari riwayat penderitaan dalam pembentukan sebuah bangsa yang dialami generasi terdahulu dengan ikhlas hati. 

Singkat kata sejenis saya adalah generasi menyedihkan di depan sejarah bangsa sendiri. Hiiikss.

Di tanggal 21 April yang diperingati secara nasional sebagai hari Kartini, saya membuka arsip majalah Historia, majalah yang merintis penulisan sejarah dengan teknik populer di Indonesia hari ini. Masuk ke kanal pencarian, saya menemukan tulisan-tulisan pendek tentang perempuan-perempuan hebat yang pernah dilahirkan bumi Indonesia di zaman sebelum Proklamasi. 

Yang pertama bikin tersentuh adalah membaca kisah ringkas tentang adik Kartini, Kardinah. Ia lahir 1 Maret 1888 dan merupakan anak ke-7 Bupati Jepara RM Sosroningrat. Ia tidak sebenderang nama kakaknya. Dalam tulisan berjudul Di Bawah Bayangan Kartini dikatakan,

Kardinah tak puas terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang membatasi akses pendidikan kaum bumiputera. Hanya anak bangsawan yang bisa mendapatkan pendidikan baik dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. “Berapa banyak bangsa kami, saya bertanya pada diri sendiri, yang mampu untuk belajar di sekolah-sekolah seperti itu?” tulis Kardinah dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon tanggal 15 Juli 1911. Lebih lanjut, “Apakah itu adil? Atau apakah yang seharusnya menjadi contoh bisa membantu masyarakat pribumi untuk maju?”

Yang dilakukan Kardinah kemudian adalah mendirikan sekolah kepandaian putri Wismo Pranowo (WP) pada 1 Maret 1916 dari hasil penjualan buku dan menggalang dukungan dana. Diceritakan jika mata pelajaran di WP antara lain bahasa Belanda, dasar pendidikan kebangsaan dan kebudayaan Jawa, Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K), mengaji Alquran, membatik, dan pendidikan watak. Kardinah ikut mengajar. Begitu pula Ki Hajar Dewantoro. 

Selanjutnya saya juga membaca perempuan hebat kelahiran Sumatera Barat, Rasuna Said namanya, lahir di Agam 4 September 1910. Dalam keterangan pendek di majalah yang sama, Rasuna Said adalah perempuan yang mahir berpidato dan berani. Pidatonya menyerang ketidakadilan hukum peremintah kolonial Belanda. Karena ini juga ia adalah perempuan pertama yang dikenakan Speek Delict.

Perempuan keturunan bangsawan Minang yang bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said ini juga adalah aktivis organisasi sekaligus jurnalis yang tajam. Ia mendirikan Persatoen Moeslimin Indonesia (PERMI) menjadi guru dan menjadi pemimpin redaksi majalah Raya di tahun 1935. Dalam arsip wikipedia dikatakan majalalah Raya merupakan majalah yang radikal dan merupakan salah satu tonggak perlawanan di Sumatera Barat.

Tahun 1937, ia mendirikan majalah mingguan Menara Poetri. Sasaran pokok dari Rasuna Said yang menggunakan nama pena Seliguri melalui majalah ini adalah memasukkan kesadaran antikolonial kepada perempuan. Tulisan-tulisannya dikenal tajam dan bersuara lantang menentang kolonialisme.

Perempuan ketiga yang saya baca bernama Johanna Tumbuan yang lahir di Amurang, Sulawesi Utara 29 November 1910. Johanna adalah salah satu peserta dalam Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Oktober 1928 yang mengikarkan Sumpah Pemuda di Gedung Indonesisch Clubhuis (kini Gedung Sumpah Pemuda), Kramat Raya 101, Jakarta Pusat. Ia juga adalah salah satu saksi pembacaan proklamasi sekaligus perempuan yang dikatakan terlibat mengonsep pembangunan tugu Proklamasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun