Perempuan-perempuan hebat di masa lalu sejarah Indonesia tentu memiliki kecerdasan yang cukup walau tak harus berpendidikan selevel profesor dari kampus ternama di dunia. Pendidikan tetap pokok tapi bukanlah syarat penentu berkembangnya kecerdasan. Apalagi jenis pendidikan era sekarang yang disindir Wiji Thukul dalam kata-kata apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli, apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu!Â
Perempuan-perempuan ini memiliki kekuatan dari dalam yang tidak otomatis dimiliki semua orang berpendidikan termasuk tidak semua laki-laki: nyali, peduli dan bertindak.
Kalau kita lihat pada era sekarang, sejujurnya sistem yang busuk seperti zaman kolonial tidak benar-benar terhapus dalam hidup sehari-hari. Praktik perdagangan perempuan masih sering terjadi. Kekerasan terhadap perempuan seperti zaman tuan terhadap gundiknya juga masih berlangsung. Bahkan tak sedikit perempuan yang juga hidup dengan pendidikan sekedarnya saja di pedesaan.Â
Karena itu, ringkas cerita, kalau memang bersetuju, hidup hari ini masih meminta generasi menyediakan dirinya bekerja menghentikan keberlangsungan sistem yang busuk.
Makdarit, maka dari itu, Â kita memang masih membutuhkan nyali, rasa peduli juga bertindak bersama, lelaki dan perempuan, demi menghentikan praktik-praktik penistaan manusia. Inilah ajakan yang dipesankan dari generasi Kartini hingga generasi yang terlibat langsung dalam penyiapan proklamasi republik Indonesia.
Oldarit, oleh dari itu, prend-prend, jangan sekali pun mencoba lupakan sejarah, please!Â
Sudah dulu coi, diundang peringatan Hari Kartini di kecamatan nih. Selamat Hari Kartini!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H