Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sedikit Pesan Sejarah di Hari Kartini

21 April 2016   09:48 Diperbarui: 21 April 2016   15:51 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan asal Sulawesi Utara ini pernah mengatakan "roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta."

Tiga perempuan ini boleh saya temukan sedikit arsip sejarah hidup mereka lewat fasilitas mesin pencari di internet. Betapa malas dan bodohnya saya selama ini dan baru merasa terpanggil mencari tahu siapa saja perempuan yang perlu disimak kisah hidupnya selain R.A Kartini. Duh, generasi celaka! Semoga sesudah ini tidak lagi menjadi pemalas dan merawat bodoh di depan warisan sejarah. Aamiin.

Lanjuut...

Pembacaan terbatas atas tiga perempuan yang berjuang di zamannya ini tentu tidak mewakili pembacaan atas banyak kiprah inspiratif perempuan yang berperan dengan pilihan dan cara mereka membebaskan kaumnya juga memerdekaan bangsa. Ini juga menegaskan bahwa sejarah sebuah bangsa tidak melulu ditulis oleh lelaki karena menjadi bangsa merdeka membutuhkan keseimbangan peran lelaki dan perempuan.

Yang barangkali perlu diwariskan adalah api semangat mereka untuk menjadi manusia yang merdeka sebagai sebaik-baiknya ciptaan Tuhan.

Kita bisa memaknai merdeka dimulai dari keberanian melawan rasa takut seperti yang pernah dikatakan Goenawan Muhamad dalam tulisan Pada Mulanya adalah Kertas-kertas Minyak.

Saya kira bukan dimulai dari hilang atau tiadanya rasa takut. Manusia tidak pernah bisa menghilangkan rasa takut dalam dirinya seberlimpah apa pun hidupnya secara materi. Setinggi apa pun pendidikannya secara formal. Seluas apa pun pergaulannya secara sosial, rasa takut selalu terselip. 

Jelas sudah jika rasa takut bukanlah ihwal psikologis semata.

Saya kira dari sedikit bacaan atas sejarah, yang menjadi sebab perempuan berani melawan takut lalu membangun perlawanannya karena keberadaan sistem tertentu yang memelihara penistaan manusia, khususnya kepada perempuan, sehingga menjadikannya lebih hina dari binatang peliharaan.

Termasuk sistem yang membuat bangsa tertentu merasa boleh membudaki bangsa yang lain atas nama misi peradaban, idealisasi rasial, dan sejenisnya. Termasuk juga sistem yang membuat lelaki merasa dirinya selalu terlahir sebagai tuan dan perempuan hanyalah pelayan-pelayan yang tidak lebih berdaulat dari robot.

Dari pembacaan kisah tiga perempuan di atas, kita bisa menyimak jika keberanian mengelola rasa takut di hadapan sistem yang busuk tentu tidak tumbuh tiba-tiba. Keberanian membutuhkan syarat-syarat agar menemukan bentuk realisasinya yang sesuai dan bukan menjadi ledakan kemarahan yang ngawur. Dengan bahasa lain, keberanian melawan rasa takut membutuhkan “jalan penderitaannya” sebelum menjumpai cahaya kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun