Sudah seminggu saya melewati kesibukan yang maraton, sesudah satu selesai bersambung dengan yang baru. Dalam tiap-tiap perpimdahan estafet kesibukan itu, saya harus membuat laporannya. Lumayan, cukup menyita energi tenaga dalam. Saking menyita tenaga dalam sampai-sampai harus mengalami mimpi yang unik. Termasuk yang baru saja terjadi sebelum terjaga subuh begini, lantas bangun, cuci muka dan menyeduh kopi.
Mimpi yang saya alami adalah sekuel yang membawa diri ke lipatan masa lalu ingatan. Tiga malam beruntun pula. Lipatan ingatan itu sendiri kenangan yang sudah lama tertimbun dan hampir tidak pernah saya kunjungi. Gambarnya adalah teman-teman di saat kuliah dulu. Kuliah yang memaksa jauh dari rumah dan merintis jalan hidup sebagai perantau muda dari Timur Indonesia, cieeeh kayak judul sinetrong.
Pertama, mimpi bertemu teman kuliah, seorang mahasiswi, di awal-awal mengalami perguruan tinggi. Dia adalah teman yang sama-sama mengalami hari naas di kala OSPEK di hari terakhir. Saat itu masih subuh dan kami sama terlambat. Seorang senior gondrong namun ceking langsung saja “membantai saya” dengan bentakan juga perintah dalam bahasa lokal Melayu-Manado yang belum sepenuhnya tersambung dengan dunia bahasa sehari-hari saya. Jadi bayangkan saja kebingungan luar biasa yang melanda: saya tahu sedang dimarahi tapi tidak tahu sedang diperintah apa. Walhasil jadi bulan-bulanan, sialan. Sementara teman mahasiswi yang belakangan ternyata kita satu jurusan lolos dari hukuman yang menjadi-jadi.
Dalam perkuliahan awal, ketika kebanyakan mata kuliah masih bersifat dasar, beberapa kali kami terlibat tugas paper berkelompok. Keakraban kami terbangun dengan baik, selain teman mahasiswi ini ada juga dua yang lain dan kebetulan perantau dari Jakarta. Terlebih lagi ketika memasuki matakuliah tingkat lanjut seperti sosiologi agama, sosiologi pembangunan atau sosiologi pengetahuan.
Matakuliah keahlian ini sering memaksa kami mengerjakan tugas secara mandiri, menjadi pribadi yang bertanggungjawab sendiri-sendiri. Kami sering berdiskusi untuk tugas-tugas mandiri ini. Asiknya dalam diskusi-diskusi itu, di ruang kuliah bukan di rumah, dia sering sekali menanyakan kabar orang tua di kampung dan sesekali membawa rantang makanan karena tahu nasib perantau.
Tahu nasib perantau? Kalau sudah lupa, dengar saja lagu dari band Panbers. Begini beberapa penggal liriknya:
Kutinggalkan sanak saudara, kutinggal kampung halaman, kutinggalkan kasih tersayang
Mengadu nasib di negeri orang
Begini nasib orang perantau mengadu nasib di negeri orang
Derita ditanggung sendiri, bahagia yang selalu dicari
Teman mahasiswi ini mungkin pernah mendengar lagu band Panbers, mungkin dari lagu yang didengar ayahnya di rumah. Ia jadi ingat teman kuliahnya yang pergi jauh dari rumah. Ingat teman-teman yang menjalani derita sendiri dan berjuang untuk bahagia kecilnya masing-masing. Sudah perantau, jomblo pula, aaaiih.
Hampir dua dasawarsa saya sudah tidak tahu kabar teman yang baik hati ini. Terakhir yang saya tahu ia tidak kemana-mana, sesudah kuliah pulang ke kampungnya di kabupaten Bolaang Mongondow, mungkin menjadi PNS dan ibu rumah tangga. Sementara saya terus melanjutkan rute merantau, Timur ke Barat belum penuh coi.
Kedua, mimpi yang menghadirkan sosok teman mahasisiwi yang tidak seangkatan, tidak satu jurusan tapi juga perantau. Jarak merantau dia dengan saya sama halnya jarak angkatan masih menang saya (maksudnya tuaan saya, haghaghag).
Teman yang baik hati ini juga merupakan rekan diskusi yang lebih sering tidak mengerti apa yang saya pikirkan, hahaha rasain. Karena saat itu saya sudah kebagian tugas untuk belajar hidup pada teman-teman difabel, Tuna Netra. Ia turut mengalami persahabatan luar biasa dengan teman-teman Tuna Netra.
Dia sering menjadi asisten yang menyiapkan beberapa perlengkapan ketika kami mengadakan pertemuan dan menyusun rencana-rencana komunitas. Lambat laun dialah yang meneruskan proses belajar ini sementara saya sudah pindah urusan. Agar kelihatan keren, sering saya bilang pindah urusan ini pertanda naik kelas, ciaaah.
Dalam irama belajar pada teman-teman tuna netra, kami sering berbagi makan, bukan sekedar berbagi cerita. Saat-saat ini saya sudah mulai jenuh dengan ritus akademik yang kebanyakan mulai mereproduksi rutinitas ketimbang pembelajaran.
Apalagi ketika saya sudah bisa memperoleh uang dari keringat sendiri, proses makan-makan menjadi sering pindah-pindah warung di tanggal muda. Kalau tanggal menua, gantianlah. Ahai.
Pada teman yang satu ini, sekitar sewindu saya tidak tahu kabar beritanya. Baru-baru ini saja saya tahu ia sedang melanjutkan studi magister di salah satu kota besar di pulau Jawa.
Ketiga, nah ini yang masalah. Bukan karena pengalaman buruk masa lalu yang terlipat dalam endapan ingatan sehingga saya tidak mau bercerita. Tapi karena saya lupa mimpinya persis seperti apa, wakakakak. Ini penggalan mimpi yang hilang di ruang sadar. Hadoh.
Gegara mimpi yang melempar saya ke beberapa tahun ingatan dari riwayat biografis, saya jadi bertanya, mengapa harus datang mimpi seperti ini?
Jika mimpi adalah kehendak yang gagal direalisasi dalam kenyataan karena itu ia mengendap dalam bawah sadar lantas memunculkan dirinya dalam mimpi, saya sedang tidak memiliki kehendak begitu.
Apalagi sekarang ini saya sedang belajar untuk menerapkan sejenis “strategi hidup sehari-hari” (serius sekali, weeeks). Inspirasinya pertama kali saya temukan dalam novel Rahasia Meede karya E.S Ito yang disebut-sebut sebagai “reinkarnasi Pramoedya” dalam generasi penulis masa kini.
Dalam Rahasia Meede ada satu tokoh yang menerapkan prinsip hidup adalah hari ini, kini dan di sini. Prinsip yang sangat khas kaum jelata. Karena prinsip seperti ini juga, tokoh ini digambarkan selalu segar seolah selalu terlahir kembali dan tak murung dalam beban-beban masa lalunya.
Inspirasi kedua, berakar pada cara pandang yang lebih rumit, saya menemukan padanan filosofisnya pada si lelaki berkumis tebal dari German. Lelaki yang dibenturkan oleh pengalaman sakit (fisikal) dan mencari pengobatan sendiri hingga menjadi tabib atas dirinya sendiri.
Lelaki ini berpesan kalau hidup manusia harus selalu menyiapkan diri terbuka pada benturan-benturan pengalaman baru sekaligus menggunakan itu sebagai energi baru untuk “terlahir kembali”. Jangan memenjara diri pada romantisme sekaligus pada idealisasi masa depan yang selalu tidak bisa dikendalikan. Saat bersamaan jangan pula kehilangan pegangan atas nilai-nilai yang diyakini.
Dari acuan tipe seperti ini, saya menjadi tidak selalu menyiapkan ingatan untuk kembali ke masa lalu dalam keadaan sadar: duduk mengenang mereka yang pernah hadir hingga terkurung dalam nostalgia dan berdoa hari ini “boleh mengalami pengulangan masa lalu”.
Yang saya sadari hari ini adalah ketika menghadapi situasi yang memperingatkan harus hati-hati, kesadaran diri pasti secara spontan menghadirkan pengalaman yang sejenis dari masa yang sudah lewat. Ada proses “critical thinking” sebelum mengambil keputusan terhadap situasi (serius ya? sengaja, hihihi).
Apakah saya sudah lulus dari adopsi akan dua inspirasi di atas? Belum pemirsa, masih jauh dan semoga tidak tersesat.
Yang kini justru membuat saya sadar karena mimpi masa lalu tiga malam beruntun adalah masa lalu selalu memiliki cara memperingatkan hari ini, termasuk lewat mimpi. Masa lalu memiliki kehendak untuk hadir dengan caranya sendiri. Ia “meminta untuk dikenang dan dijadikan pelajaran” karena ia juga adalah peristiwa yang berharga, terlepas dari kelam atau bahagianya.
Tegas peringatan manusia adalah makhluk sejarah karenanya ia menjadi harus berdiri dalam irisan masa lalu sekaligus kekinian dan berhadapan dengan masa depan yang tidak bisa dikendalikan secara total.
George Orwell dalam 1984 pernah menitip pesan who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past. Peringatan ini makin memperkuat bahwa pelajaran dari masa lalu perlu dijadikan endapan kekayaan maknawi yang terus disegarkan untuk menjadi bagian dan kumpulan energi baik manakala berhadap dengan rangkai peristiwa harian yang membutuhkan penanganan dengan cara-cara baru yang lebih bermakna.
So, bersikap fleksibel, jangan kaku-beku, dan selalu gembira dalam belajar pada pengalaman yang baru. Jadi Dwi Greepong, jangan cemas berlarut atas kesendirian karena diacuhkan Encum, kesepianmu bukanlah sesuatu yang spesial. Highig..
Selamat pagi, mari sediakan diri untuk selalu bersyukur.
***
#Hidup celana!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H