Pada musim buah, hiruk pikuk pasar selalu harum. Tapi tidak selalu yang harum adalah buah. Apalagi pada buah yang dipaksa matang lebih dulu. Untuk menunjukkan kebenarannya mari selesaikan membaca cerita ini.
Di musim buah, seorang kakek pergi membawa segerobak buah nangka ke pasar. Nangka yang dagingnya tebal dan manis. Nangka dari bibit yang ditanam turun temurun oleh kakek-kakeknya. Kebayang kan betapa bersejarahnya bibit nangka tersebut.
Sesampai di pasar, si kakek mulai menggelar nangkanya di tepi jalan. Ia memang tidak kebagian lapak yang sudah penuh. Selain itu lebih strategis menggelar harum dan kuning daging nangka di pinggir jalan. Ini sesuai dengan kaidah strategi menjemput bola, katanya dalam hati.
Maka sembari berjongkok membelah nangka yang sudah turun temurun menuntun leluhurnya bolak balik kebun dan pasar, si kakek berteriak begini.
"Nangka bersejarah, nangka bersejarah. Ditanam dari bbit yang dipelihara turun temurun dengan melewati beberapa generasi yang mencintai nangka seperti mencintai hidupnya yang sementara. Nangka-nangka ini adalah nangka yang masak dalam waktunya, matang oleh prosesnya. Bukan jenis yang dipaksa-paksa matang."
Berulangkali si kakek meneriakkan hal yang sama dengan kelantangan yang stabil. Beradu keras dengan penjaja obat yang lebih muda dari dirinya.
Hingga datang anak perawan yang lugu dan menggemaskan ke depan si kakek yang masih berjongkok.
“Kek, nangkanya manis?” tanya si anak perawan.
“Dicoba aja cu. Lihat aja tuh dagingnya, tebal dan segar. Bijinya juga mengkilap. Nih.” Kata kakek sambil mengambil sebuah daging lengkap dengan bijinya. Si anak perawan menyambut uluran buah, membelah daging melihat bijinya yang mengkilap di bawah hangat matahari pagi. Lalu ia menggigit dagingnya, manis dan segar. Benar, si kakek tidak berbohong.
“Kek, untuk membedakan nangka yang bagus dengan buruk, gimana caranya?” tanyanya lagi.
“Ya harus dilihat dagingnya, jangan percaya kulitnya. Harus diperiksa isinya jangan terjebak luarannya. Juga lihat bijinya di bawah matahari, yang bagus selalu mengkilap cu. Bisa dipastikan itu nangka yang matang sudah waktunya. Matang-matang pohon bukan matang di kotak peram,” terang si kakek lagi.
Si anak perawan kemudian ikut berjongkok dan mengambul lagi buah nangka yang lain. Dengan kesangsian sekaligus rasa penasaran khas perawan muda, ia memeriksa lagi: membelah daging nangka lalu menghadapkannya kepada matahari. Segar dan mengkilap.
Tetiba si perawan melihat kilapan lain yang tidak berasal dari daging nangka. Tapi kilapan yang berasal dari sekitar celana pendek si kakek yang berjongkok.
“Kek, yang itu mengkilap juga. Apakah itu juga matang di pohon?” tanya si perawan lekas-lekas.
Menyadari pertanyaan yang makin penasaran dan cenderung kedalam, si kakek bergegas membetulkan posisi lipatan celana, menariknya agar terhindar dari hangat cahaya matahari. Kemudian berkata pelan sambil cengengesan.
“Hehehe, yang ini sih matangnya sejak penciptaan.”
Sembari dalam hatinya kakek berpesan jika nangka ini laku, segera beli pakaian dalam.
#Gubraaaak
#Tetiba hujan deraaas. Pasarnya Bubaaar.
Sampai kisah ini selesai ditulis, si anak perawan masih penasaran sebenarnya apa sih yang menyembul dan memantul kilau dari jongkok si kakek sehingga sukses menghalau rasa penasarannya terhadap nangka. Adakah yang bisa bantu menjawabnya?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H