Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Kopi kepada Padi

11 April 2016   06:35 Diperbarui: 11 April 2016   07:23 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, terbangun sebelum subuh sebab tertidur sebelum tengah malam. Ada gerah yang terus mengendap di sekitar tengkuk. Tapi tak ada hujan hingga adzan subuh berkumandang. Saya menduga hujannya mungkin gagal membahasi bumi. Padahal siang kemarin terik mentari bahkan mampu menetes keringat ke seluruh pori-pori tanpa terkecuali.

Saya memilih segera mandi, barangkali gerahnya boleh kembali kepada bumi.

Di kamar mandi, saya membasuh pagi tanpa menyanyi. Pikiran saya lebih sudah membiarkan dirinya tersapu dingin yang mengalir bersama busa sabun buatan pabrik. Dengan begitu saya selalu teringat: hidup pada akhirnya akan kembali kepada tanah, terdiam sendiri-sendiri di dalam bumi. Lantas mengapa lupa diri?

Mandi memang bukan sekedar membahasi tubuh yang ringkih. Ia bisa menyegarkan nurani.

Sesudah mandi, saya memilih setelan apa yang dipakai hari ini. Setelan yang kemarin baru saja mengering diterpa terik sepanjang hari. Setelan yang tidak mengenal pewangi karena mengikuti tuannya yang percaya yang wangi abadi tidak dibikin di pabrik-pabrik. Wangi abadi juga tidak selalu bisa menjadi iklan di televisi. Wangi abadi hanya mengharum setiap hari bersama perbuatan-perbuatan baik yang tidak suka memelototi diri di depan puja-puji basi. Harum yang sunyi.

Sesudah tubuh tertutup setelan yang baru dicuci, saya sarapan kopi dan membaca puisi. Kopi saya selalu kopi yang pahitnya tidak berkesaksian. Ia bukan jenis kapal api yang berlayar di depan mata anak-anak yang berebut remot dengan emaknya. Kopi saya hanyalah bubuk yang ditanam dari gelisah karena selalu kalah dengan kopi-kopi di televisi.

Saya membaca puisi ini. Surat Kopi.

Lima menit menjelang minum kopi,
aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih,
setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”

Mungkin karena itu empat cangkir kopi sehari
bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri.

Kau punya bermacam-macam kopi
dan kau pernah bertanya: “Kau mau pilih
kopi yang mana?” Aku jawab: “Aku pilih kopimu.”

Di mataku telah lahir mata kopi.
Di waktu kecil aku pernah diberi Ibu cium rasa kopi.
Apakah puting susu juga mengandung kopi?

Kopi: nama yang tertera pada sebuah nama. Namaku.

Burung menumpahkan kicaunya ke dalam kopi.
Matahari mencurahkan matanya ke hitam kopi.
Dan kopi meruapkan harum darah dari lambungmu.

Tiga teguk yang akan datang aku bakal
mencecap hangat darahmu di bibir cangkir kopiku.

(2013)

Selagi asik mencecap surat kopi demi menyukuri rezeki dan melawan bunuh diri, hujan yang gagal malam tadi menderas seketika. Dengan pembukaan petir yang menggelegar, ia selaksa air bah yang ditumpahkan dari langit yang lelah.

Cetaaaaaaar...Byaaaaar. Byaaaaar.

Bumi sekejap basah dan gerah yang tadi sudah kusuruh kembali kepada bumi bersama air mandi berganti resah. Hujan deras telah membuat harus terkurung dalam kamar berdinding kayu dengan langit-langit yang tanpa penutup. Wahai bumi, petir dan hujan, haruskah saya berdiam menghitung bulir-bulir yang jatuh di samping jendela kayu?

Hari ini senin. Hari ketika saya harus kembali ke ladang-ladang padi. Di sana saya menyulam mimpi pada setiap musim yang meringis. Saya ingat, sehektar padi belum lagi menjadi beras. Ia masih berdiri bengkok menahan beratnya sendiri. Beberapa bulirnya telah mencium tanah seolah memberi peringatan: jika kau terlambat membawa pulang kami, relakanlah kami kembali kepada bumi.

Cetaaaar..Byaaar. Byaaar.

Petir lagi dan hujan lebih deras dari yang tadi. Haduh, haduh. Bagaimana ini?

Petak-petak mimpi saya akan terbenam ke dalam air. Batang-batang padi yang bengkok menahan beratnya sendiri akan tenggelam dan membusuk. Perut saya akan terancam lapar dalam sepanjang menunggu musim tanam yang baru. Ini alamat celaka. Jika tak punya padi, apa harga diri saya sebagai petani?

Eh, tetiba di luar hening. Petir berhenti. Hujan mereda. Langit kembali tersenym cerah.

Selekas petir saya mengambil arit dan topi. Menyelipkan karung goni dan menaiki sepeda ontel peninggalan ayah yang sudah lama mati. Wahai padi, saya pergi untuk membawamu ke rumah, menemani hari-hari yang mensyukuri rezeki. Kita adalah kesetiaan yang bekerja keras menghadapi musim-musim yang meringis, padi. Kita adalah pensyukur rezeki yang tidak ongkang-ongkang kaki.

Tunggu saya di petak-petak mimpi kita, padi!

[Sementara menanti reda hujan]

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun