Kopi: nama yang tertera pada sebuah nama. Namaku.
Burung menumpahkan kicaunya ke dalam kopi.
Matahari mencurahkan matanya ke hitam kopi.
Dan kopi meruapkan harum darah dari lambungmu.
Tiga teguk yang akan datang aku bakal
mencecap hangat darahmu di bibir cangkir kopiku.
(2013)
Selagi asik mencecap surat kopi demi menyukuri rezeki dan melawan bunuh diri, hujan yang gagal malam tadi menderas seketika. Dengan pembukaan petir yang menggelegar, ia selaksa air bah yang ditumpahkan dari langit yang lelah.
Cetaaaaaaar...Byaaaaar. Byaaaaar.
Bumi sekejap basah dan gerah yang tadi sudah kusuruh kembali kepada bumi bersama air mandi berganti resah. Hujan deras telah membuat harus terkurung dalam kamar berdinding kayu dengan langit-langit yang tanpa penutup. Wahai bumi, petir dan hujan, haruskah saya berdiam menghitung bulir-bulir yang jatuh di samping jendela kayu?
Hari ini senin. Hari ketika saya harus kembali ke ladang-ladang padi. Di sana saya menyulam mimpi pada setiap musim yang meringis. Saya ingat, sehektar padi belum lagi menjadi beras. Ia masih berdiri bengkok menahan beratnya sendiri. Beberapa bulirnya telah mencium tanah seolah memberi peringatan: jika kau terlambat membawa pulang kami, relakanlah kami kembali kepada bumi.
Cetaaaar..Byaaar. Byaaar.
Petir lagi dan hujan lebih deras dari yang tadi. Haduh, haduh. Bagaimana ini?
Petak-petak mimpi saya akan terbenam ke dalam air. Batang-batang padi yang bengkok menahan beratnya sendiri akan tenggelam dan membusuk. Perut saya akan terancam lapar dalam sepanjang menunggu musim tanam yang baru. Ini alamat celaka. Jika tak punya padi, apa harga diri saya sebagai petani?