[caption caption="Presiden Soekarno | Foto: LIFE"][/caption]Barangkali ironi paling awet pada zaman sesudah tuan kolonial pergi adalah kita yang bernafas pada udara merdeka hari ini harus melawan saudara-saudara sendiri yang batil dan merasa era merdeka adalah kesempatan menjadi tuan-tuan baru. Jauh lebih berat, kata Soekarno yang melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Tentu kalau kita percaya pada Soekarno.
Tuan-tuan kolonial itu mudah saja ditandai.
Mungkin dengan melihat rambut, bola mata, kulit, dan aksen berbahasa. Atau pergi ke gedung-gedung tertentu di kota dan melihat bagaimana mereka berkumpul dengan para pembesar lalu berpesta. Atau ketika kita ke ruang sidang dan menyaksikan bagaimana seorang hakim membaca putusan dengan aksen dan bahasa yang asing untuk pribumi yang menolak menulis puja-puji kepada ratu yang tidak pernah ia temui. Atau di depan tangsi, kita menyaksikan petani ditendang dengan caci maki asing karena menolak kerja paksa. Sementara kita bukan saja penonton. Kita adalah penonton yang ketakutan, tidak memiliki kemerdekaan dan selalu bersiap diri diinjak juga akhirnya.
Berbeda dengan saudara sebangsa. Kita tidak bisa langsung menunjuk hidung.
Bagaimana menandai sebangsa sebagai jenis yang “seberbahaya” tuan-tuan kolonial walau kita sering melihat sebangsa berbicara dengan aksen yang bercampur? Berkumpul di gedung-gedung tertentu dengan pesta super mewah di tengah kemiskinan jelata? Atau ketika kita pergi menonton sidang seorang nenek yang diganjar hukuman 10 tahun tahanan hanya karena mengambil setandan pisang di bukan ladangnya? Atau justru menandai diri kita sendiri yang diam-diam telah menjadi lebih berbahaya dari penguasa kolonial?
Dalam situasi kabur begini, kita tentu harus selalu mampu memelihara praduga tak bersalah. Merawat sangka-sangka yang selalu baik. Bukan karena manusia pada dasarnya baik, tapi juga karena kejahatan bisa lahir dari mereka yang gantengnya selangit dan berlatar pendidikan sementereng bintang-bintang di luar negeri. Kejahatan juga bisa lahir dari diri kita sendiri.
Dan mungkin dari asumsi dasar seperti ini—ketika manusia memiliki kecenderungan ganda dalam dirinya yang selalu bergulat, ajaran Islam menyebutnya pertentangan potensi dhaif dengan hanif—orang-orang yang menolak teori modernisasi menyusun kritiknya.
Mereka menolak simpulan yang menyebutkan bangsa-bangsa postkolonial susah maju sebab tidak modern. Tidak memiliki budaya modern, tidak melahirkan manusia modern padahal dilimpahi sumberdaya alam yang kaya. Bukan perkara modern ada atau tiada, bagi para penentang ini. Musababnya adalah modernisme itu sendiri sebuah bungkus yang merawat ketergantungan. Modernisme adalah modus untuk penjajahan baru yang lebih canggih.
Masalahnya adalah struktur yang merawat ketimpangan dan ketergantungan. Struktur yang merawat ketundukan, kebodohan dan ketakutan. Dalam struktur yang dirawat itu, hegemoni yang bermakna kepemimpinan moral dan intelektual untuk membenarkan negara tertentu terus memiliki pembenaran. Struktur: cara berfikir, bertindak, dan merasa yang membentuk interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan organisasi, organisasi dengan organisasi; perangkat nilai-nilai dalam menstabilkan interaksi. Stuktur juga adalah relasi kuasa dalam pengetahuan, relasi kuasa dalam susunan wacana tertentu. Struktur bisa bermakna keteraturan yang merawat nilai dan praktik yang secara canggih menyamarkan penistaan manusia, exploitation de l'homme par l'homme.
Orang-orang dari cara berfikir postkolonial memiliki nada yang sama dengan penganut Dependency Theory. Modernisme adalah masalah, bukan jalan keluar. Pasalnya dalam janji besar modernisme yang sedang dilanggengkan adalah reproduksi tatanan kolonial dan susunan dunia manusia yang timpang. Oleh reproduksi struktur inilah, ironi itu seolah abadi seperti Soekarno.
Dalam ironi dan kekaburan era merdeka seperti ini, kita bersyukur bisa membangun demokrasi walau masih terus saja mencari modelnya agar tidak menjadi basa-basi berbiaya mahal bernama proseduralisme. Demokrasi memberi kita tata cara dan kesempatan untuk memilih manusia-manusia yang berani melawan ironi tersebut. Kita membutuhkan model yang memungkinan untuk ini. Demokrasi juga memungkinkan kita memilih jalan pembangunan apa yang dikehendaki, bukan?