Mohamad Hatta pernah mengatakan demokrasi bisa ditindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetap setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan.
Sesudah era Soeharto selesai, kita mungkin sudah insyaf berdemokrasi, mungkin belum. Mungkin masih harus menjalani cobaan yang lebih pahit lagi.
Kalau kita persempit dalam konteks kontestasi politik, post Soeharto, demokrasi dalam prosedurnya memang sudah banyak diperbaiki. Kompetisinya pun sudah lebih memenuhi asas yang dipegang sebagai aturan main. Ketika ada ketidakpuasan, negara pun memberi kesempatan untuk pembuktian legal. Walau begitu, kita masih menjumpai banyak watak penjajah: menggunakan kekuasaan untuk melanggengkan dominasi diri dan kelompoknya. Sementara yang menolak berkuasa seperti ini masih sedikit. Jadi, untuk sementara, kompetisi demokratis belum sepenuhnya melahirkan kehidupan politik yang melawan ironi.
Atau mungkin yang lebih tepat, demokrasi justru ada dalam ketegangan mereka yang berani memupus ironi berhadap mereka yang terus merawatnya. Karena kalau sudah segala lini politik, ekonomi, sosial, dan budaya diisi manusia baik, kita mungkin tidak butuh lagi cara memilih. Kita tidak butuh lagi pemilu. Dengan begitu duitnya yang berlimpah boleh dialokasikan ke sektor strategis lain. Mensubdisi jomblo yang sepi dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah puisi yang bagus, misalnya.
Apakah demokrasi melulu soal politik? Tentulah tidak.
Demokrasi politik tanpa perluasan demokrasi ekonomi hanya akan melahirkan pseudo-republik, republik semu. Republik yang menunggu pemberontakan. Sama halnya ketika demokrasi politik berlangsung tanpa demokratisasi pendidikan, ia hanya akan melahirkan otoritarianisme yang soft. Ini pada akhirnya juga akan karam.
Tapi catatan saya bukan meramal-ramil masa datang pemberontakan atau kondisi karam. Yang mau saya bilang, dari hubungan di atas, kiranya politik tetap merupakan elemen kunci. Artinya rangkaian pemilu baik level nasional pun daerah adalah pintu masuk untuk menolak laku garbage in, garbage out. Pintu masuk yang menolak menyerahkan politik dikendalikan pikiran dan kehendak berkuasa yang merawat ironi. Ini yang mungkin masih menjadi mimpi pendiri republik.
Ketika tiba di sini, pada jelang penghabisan tulisan, dalam gaduh-gaduhan polemik politik, saya memilih pulang pada puisi. Dengan membaca puisi, saya boleh menjumpai hening, menelusuri bening dan semoga bersua yang bening-bening. Karena sekali saja terlepas melayani polemik politik, sangat mungkin saya akan kebingungan sendiri.
Bingung di depan tanya besar: sesungguhnya yang sedang kau tempur-gempurkan itu melawan saudaramu yang bermental kolonial atau menyembunyikan diri sendiri yang lebih berbahaya dari mental kuasa kolonial?
Saya membiarkan bingung ini menggantung bersama sebuah puisi setengah panjang milik Arvianti Armand, Seperti Biasa.
Seperti biasa,
kita terdampar lagi
pada chorus terakhir sebuah karusel
dan satu malam sepia;