Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Duta Pancasila dan Sedikit Catatan

8 April 2016   19:16 Diperbarui: 28 Mei 2018   12:30 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
["Zaskia Gotik (kanan) dan Ketua Fraksi PKB di MPR, Abdul Kadir Karding, di gedung DPR/MPR RI, Kamis (7/4/2016). (Kompas.com/ANDI MUTTYA KETENG PANGERANG)"]

Pedangdut Zaskia Gotik ditunjuk Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) sebagai Duta Pancasila pada acara pembekalan Pancasila untuk pekerja seni. Dari yang bisa dibaca pada laman Kompas.com, pertimbangan penunjukkan Zaskia karena: "pekerja seni itu sekali ngomong punya dampak besar. Kalau politisi belum tentu. Jadi mereka ini sangat strategis kami dorong untuk menjadi duta-duta," kata Abdul Kadir Karding, sang ketua Fraksi.

Lebih lanjut, masih dari laman yang sama, dikatakan cara penyelesaiannya tidak harus dengan hukum. Tapi bagi PKB kalau ada permasalahan seperti ini kita ingin menyelesaikan adalah dengan persuasi.

Oke sip. Jadi intinya: politisi yang bicara kanan-kiri atas-bawah luar-dalam tentang Pancasila sudah tidak didengarkan alias dianggap sepi lalu kemudian dimaknai publik sebagai daur ulang kepalsuan maka mari gunakan pesona artis dalam mengorganisir kesadaran masyarakat (fans) menjadi Pancasilais. Kesimpulan turunan seperti ini bisa dipakai? Over ya? Ya, tidak usah dipakai, lupakan, poin saya juga bukan di sini.

Saya tidak hendak menyerang Zaskia Gotik yang belum pernah bernyanyi melampaui indahnya suara Elvi Sukaesih, Camelia Malik atau Rita Sugiarto. Yang saya mau lihat adalah gambar yang lebih besar dari pinggul si Goyang Itik ini. 

Pancasila dalam Negara Orde baru: Gagalnya Civil Religion (?)

Sebelumnya, mari mengenang ke belakang bagaimana Pancasila dijadikan sumber nilai oleh negara Orde Baru.

Zaman ini, Pancasila tidak boleh diperlakukan sembarang. Pancasila adalah poros nilai yang menjadi rujukan utama sehingga ia dilengkapi dengan macam-macam metode penyalur nilai seperti penataran P-4 dan institusi pengangkutnya, yakni keberadaan BP-7. Sesudah Soeharto selesai, barulah Pancasila ramai ditafsirkan kembali.

Salah satu tesis yang menarik adalah kajian yang mencoba melihat Pancasila sebagai Agama Sipil (Civil Religion). Pandangan ini berakar dari pemikiran filosof Perancis JJ.Rousseau yang dikembangkan oleh murid Parsons, Robert Norton Bellah. Bellah adalah sosiolog Amerika beraliran fungsionalisme yang melihat kapasitas menjadi modern dalam Religi Tokugawa. Religi Tokugawa-lah yang memberi basis kultural bagi modernisasi Jepang, restorasi Meiji memberikan jalan politiknya.

Agama Sipil adalah fenomena modern, muncul dalam budaya modern. Ia bisa dimaknai sebagai hasil pertemuan, perkawinan, persenyawaan, sintesis antara nilai-nilai dari agama wahyu (Abrahamic Religion), Agama Non-Abrahamic juga nilai-nilai yang sudah lebih dahulu tumbuh dan membentuk masyarakat. Jadi Agama Sipil jangan dibayangkan sebagai agama baru atau agama hasil sinkretisme yang mewartakan klaim keselamatan dan kebenarannya sendiri. Makna Civilitasnya lebih kepada produk budaya dan sejarah masyarakat. Kurang lebih seperti ini.

Sehingga bisa dikatakan dalam Agama Sipil, nilai-nilai dari agama wahyu, agama non-wahyu, dan nilai-nilai non agamais bersenyawa, menjadi sintesis nilai, yang selanjutnya membentuk nilai-nilai, norma, pengetahuan yang tercermin dalam laku sehari-hari masyarakat.

Pancasila sebagai Agama Sipil pernah dikaji ketika Negara Orde Baru masih tegak perkasa. Salah satunya adalah Susan Purdy. Saya tidak membaca langsung tesis Susan tapi membaca hasil tafsir dari Zainuddin Maliki, kalau tidak salah ingat dalam bukunya Agama Rakyat, Agama Penguasa (Galang Press, 2000).

Pertanyaan Susan sederhana saja: apakah Pancasila sudah menjadi Agama Sipil di Indonesia dalam masa Orde Baru yang memperlakukan Pancasila dengan “semulia” itu? Ada tiga alat evaluasi (elemen fungsional) yang diulasnya yakni fungsi identitas, fungsi solidaritas, dan fungsi profetik.

Identitas merujuk pada kemampuan masyarakat menjadikan Pancasila sebagai basis nilai dalam membangun citra diri bersama sebagai bangsa Indonesia. Bisa dimaknai juga sebagai proses membentuk kesadaran kolektif sebagai bangsa. Bagi Susan, ini tidak sepenuhnya terjadi karena geliat-geliat daerah yang menghendaki berdiri di luar Indonesia masih liat dan bergerak.

Fungsi solidaritas adalah di bawah terang nilai Pancasila, masyarakat membangun rasa bersama, saling peduli, saling menjaga tumbuh dengan baik dalam mengelola kemajemukan. Ternyata tidak juga, gesekan karena perbedaan keyakinan masih mudah terjadi, kalau pun tidak muncul, ia menjadi energi negatif yang latency.

Sementara fungsi profetik, sudahkah manakala Pancasila menjadi nilai dalam ruang batin masyarakat yang mendorong pembelaan pada mereka yang dimiskinkan, didiskriminasi, disenyapkan, ditidakadili. Jaman ini, membela orang digusur dan berjuang menuntut haknya bisa sekejap dicap kuminis oleh negara.

Kalau kita percaya pada kajian Susan Purdy ini, Pancasila dalam spirit Agama Sipil pada zaman Orde Baru tidak berhasil memenuhi tiga syarat fungsional diatas. Bisa saja konsepsi Agama Sipil memang tidak pas dilekatkan pada Pancasila atau bisa jadi seharusnya Pancasila menjadi Agama Sipil khas Indonesia tapi justru potensi itu diaborsi negara Orde Baru yang lebih menekankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Entah yang benar yang mana.

Dari pengalaman sejarah ini, sekali lagi kalau mengacu pada Susan Purdy, kita bisa melihat sebuah narasi dimana ketika pandangan hidup kolektif, nilai bersama, atau ideologi bernegara diperlakukan dengan tafsir monopolistik dan pemaknaan yang indoktrinal, ia akan mengalami defisit dan disfungsi yang mengkhawatirkan.

Saya kira, warisan kondisi defisit dan disfungsi seperti inilah yang sedang berkembang. Separah apa kondisinya, masih harus dicari tahu lagi. Rasa-rasanya perkembangan seperti inilah yang kemudian menciptakan keterpanggilan pada tubuh perangkat negara, lewat sayap legislatif, untuk menyegar-hidupkan lagi kesadaran berpancasila. 

Saat bersamaan, berhadapan dengan defisit-disfungsi tersebut, banyak pandangan yang melihat keterancaman Pancasila turut dikarenakan arus balik formalisasi agama ke dalam negara yang mengiringi dinamika otonomi daerah  plus hantaman arus besar tsunami globalisme dengan tekanan liberalisme yang meremuk nilai-nilai nasional. 

Pada berita Zaskia Gotik yang baru ditetapkan Duta Pancasila oleh F-KB, saya menduga ada kombinasi tiga elemen yang berusaha bekerja sama dalam memenuhi keterpanggilan menghalau kecemasan akan ancaman sebagaimana di atas. Paling kurang ada tiga elemen yang sedang berusaha dikerjasamakan dalam mensosialisasikan Pancasila di era tak ada lagi P-4 dan BP-7. 

Tiga elemen itu adalah ideologi, budaya pop dan negara itu sendiri. Ideologi jelas merujuk pada Pancasila, wakil budaya pop adalah pekerja seni, khususnya pedangdut, dan negara, ya legislatif, F-PKB persisnya.

Dengan padat kata, agar gak panjang-panjang lagi, dengan instrumen budaya pop, proses “radikalisasi Pancasila”—bahasa yang dipakai sejarawan Kuntowijoyo sebelum beliau wafat untuk mengganti istilah mengakarkan secara kritis—oleh negara sedang diujicobakan.

Sekarang ini pengaruh musik dangdut yang sebelumnya hanyalah jenis musik ndeso, di pinggiran kepentingan industri, sedang dalam gelombang pasang. Dangdut dalam industri musik modern kini sudah masuk ke pusat dan memenuhi siaran televisi juga panggung-panggung kampanye dimana-mana pada setiap perhelatan kompetisi politik. Panggung politik tanpa artis dangdut sekarang ini rasanya kecut.

Pertanyaannya apakah dengan menggunakan pedangdut atau artis pada umumnya maka percepatan “radikalisasi Pancasila” bisa berjalan lebih bermakna bukan semata-mata massif kaya pasar malam akan terwujud? Apakah para pesohor efektif menjalani fungsi aparatur ideologisasi Pancasila kepada masyarakat fans-nya ketika P-4 dan BP-7 sudah masuk museum penuh debu? 

Tentu metode ini harus diuji lagi. Tantangannya tentu bukan sekedar membaca dan menghafal lima sila dan termasuk butir-butirnya yang pernah dimuat dalam buku keluaran BP-7. Atau sosialisasi keliling seluruh Indonesia yang memakan biaya mahal.

Yang jadi tantangan adalah ketika masyarakat luas diajak untuk menghayati Pancasila sebagai laku hidup harian sementara pada saat bersamaan fungsi identitas (membentuk kesadaran kolektif sebagai Indonesia), fungsi solidaritas (merawat rasa persaudaraan sebagai sesama anak bangsa) dan fungsi profetik (menghidupkan kepedulian dan keberanian bertindak melindungi mereka yang dimiskinkan, dihinakan, disia-siakan, diminoritaskan, didiskriminasikan) masih dilanggar dari aras legislatif. Pelanggaran yang terjadi karena salah kelola kewenangan yang berdampak fatal, sistemik dan massif. Terus buat apa?

Tegas kata gerak formalisasi dan liberalisasi yang mengancam eksistensi pancasila bisa jadi hanya reaksi sekunder. Keterancaman Pancasila yang primer dikarenakan nilai-nilai dasarnya dilanggar oleh kebijakan negara berkali-kali. Selama negara masih tidak hadir dan doyan memproduksi diskriminasi, ketidakadilan, juga perpecahan selama itu juga Pancasila sedang ditikam pengkhianatan berkali-kali.

Kalau demikian, ini namanya memuntahkan makanan di piring yang sama. Masyarakat disuruh belajar-mengembangkan-melakoni Pancasila tapi di level negara elit-elitnya masih hidup dengan watak purba yang tersembunyi di balik jas berpin keemasan. Kusuuutt..

Maka jangan serta merta menyalahkan masyarakat yang tidak hafal Pancasila atau bertindak di luar koridor nilai Pancasila jika eksekutif, yudikatif dan legislatif masih saja memproduksi salah kelola kekuasaan dan pengkhianatan mandat kemerdekaan. 

Terakhir, pertanyaan saya, kenapa kok Duta Pancasilanya bukan Dian Sastro?

Selamat malam, selamat berakhir pekan Prend!

Makan malam doloo.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun