Sekarang ini pengaruh musik dangdut yang sebelumnya hanyalah jenis musik ndeso, di pinggiran kepentingan industri, sedang dalam gelombang pasang. Dangdut dalam industri musik modern kini sudah masuk ke pusat dan memenuhi siaran televisi juga panggung-panggung kampanye dimana-mana pada setiap perhelatan kompetisi politik. Panggung politik tanpa artis dangdut sekarang ini rasanya kecut.
Pertanyaannya apakah dengan menggunakan pedangdut atau artis pada umumnya maka percepatan “radikalisasi Pancasila” bisa berjalan lebih bermakna bukan semata-mata massif kaya pasar malam akan terwujud? Apakah para pesohor efektif menjalani fungsi aparatur ideologisasi Pancasila kepada masyarakat fans-nya ketika P-4 dan BP-7 sudah masuk museum penuh debu?
Tentu metode ini harus diuji lagi. Tantangannya tentu bukan sekedar membaca dan menghafal lima sila dan termasuk butir-butirnya yang pernah dimuat dalam buku keluaran BP-7. Atau sosialisasi keliling seluruh Indonesia yang memakan biaya mahal.
Yang jadi tantangan adalah ketika masyarakat luas diajak untuk menghayati Pancasila sebagai laku hidup harian sementara pada saat bersamaan fungsi identitas (membentuk kesadaran kolektif sebagai Indonesia), fungsi solidaritas (merawat rasa persaudaraan sebagai sesama anak bangsa) dan fungsi profetik (menghidupkan kepedulian dan keberanian bertindak melindungi mereka yang dimiskinkan, dihinakan, disia-siakan, diminoritaskan, didiskriminasikan) masih dilanggar dari aras legislatif. Pelanggaran yang terjadi karena salah kelola kewenangan yang berdampak fatal, sistemik dan massif. Terus buat apa?
Tegas kata gerak formalisasi dan liberalisasi yang mengancam eksistensi pancasila bisa jadi hanya reaksi sekunder. Keterancaman Pancasila yang primer dikarenakan nilai-nilai dasarnya dilanggar oleh kebijakan negara berkali-kali. Selama negara masih tidak hadir dan doyan memproduksi diskriminasi, ketidakadilan, juga perpecahan selama itu juga Pancasila sedang ditikam pengkhianatan berkali-kali.
Kalau demikian, ini namanya memuntahkan makanan di piring yang sama. Masyarakat disuruh belajar-mengembangkan-melakoni Pancasila tapi di level negara elit-elitnya masih hidup dengan watak purba yang tersembunyi di balik jas berpin keemasan. Kusuuutt..
Maka jangan serta merta menyalahkan masyarakat yang tidak hafal Pancasila atau bertindak di luar koridor nilai Pancasila jika eksekutif, yudikatif dan legislatif masih saja memproduksi salah kelola kekuasaan dan pengkhianatan mandat kemerdekaan.
Terakhir, pertanyaan saya, kenapa kok Duta Pancasilanya bukan Dian Sastro?
Selamat malam, selamat berakhir pekan Prend!
Makan malam doloo.
***