Pertanyaan Susan sederhana saja: apakah Pancasila sudah menjadi Agama Sipil di Indonesia dalam masa Orde Baru yang memperlakukan Pancasila dengan “semulia” itu? Ada tiga alat evaluasi (elemen fungsional) yang diulasnya yakni fungsi identitas, fungsi solidaritas, dan fungsi profetik.
Identitas merujuk pada kemampuan masyarakat menjadikan Pancasila sebagai basis nilai dalam membangun citra diri bersama sebagai bangsa Indonesia. Bisa dimaknai juga sebagai proses membentuk kesadaran kolektif sebagai bangsa. Bagi Susan, ini tidak sepenuhnya terjadi karena geliat-geliat daerah yang menghendaki berdiri di luar Indonesia masih liat dan bergerak.
Fungsi solidaritas adalah di bawah terang nilai Pancasila, masyarakat membangun rasa bersama, saling peduli, saling menjaga tumbuh dengan baik dalam mengelola kemajemukan. Ternyata tidak juga, gesekan karena perbedaan keyakinan masih mudah terjadi, kalau pun tidak muncul, ia menjadi energi negatif yang latency.
Sementara fungsi profetik, sudahkah manakala Pancasila menjadi nilai dalam ruang batin masyarakat yang mendorong pembelaan pada mereka yang dimiskinkan, didiskriminasi, disenyapkan, ditidakadili. Jaman ini, membela orang digusur dan berjuang menuntut haknya bisa sekejap dicap kuminis oleh negara.
Kalau kita percaya pada kajian Susan Purdy ini, Pancasila dalam spirit Agama Sipil pada zaman Orde Baru tidak berhasil memenuhi tiga syarat fungsional diatas. Bisa saja konsepsi Agama Sipil memang tidak pas dilekatkan pada Pancasila atau bisa jadi seharusnya Pancasila menjadi Agama Sipil khas Indonesia tapi justru potensi itu diaborsi negara Orde Baru yang lebih menekankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Entah yang benar yang mana.
Dari pengalaman sejarah ini, sekali lagi kalau mengacu pada Susan Purdy, kita bisa melihat sebuah narasi dimana ketika pandangan hidup kolektif, nilai bersama, atau ideologi bernegara diperlakukan dengan tafsir monopolistik dan pemaknaan yang indoktrinal, ia akan mengalami defisit dan disfungsi yang mengkhawatirkan.
Saya kira, warisan kondisi defisit dan disfungsi seperti inilah yang sedang berkembang. Separah apa kondisinya, masih harus dicari tahu lagi. Rasa-rasanya perkembangan seperti inilah yang kemudian menciptakan keterpanggilan pada tubuh perangkat negara, lewat sayap legislatif, untuk menyegar-hidupkan lagi kesadaran berpancasila.
Saat bersamaan, berhadapan dengan defisit-disfungsi tersebut, banyak pandangan yang melihat keterancaman Pancasila turut dikarenakan arus balik formalisasi agama ke dalam negara yang mengiringi dinamika otonomi daerah plus hantaman arus besar tsunami globalisme dengan tekanan liberalisme yang meremuk nilai-nilai nasional.
Pada berita Zaskia Gotik yang baru ditetapkan Duta Pancasila oleh F-KB, saya menduga ada kombinasi tiga elemen yang berusaha bekerja sama dalam memenuhi keterpanggilan menghalau kecemasan akan ancaman sebagaimana di atas. Paling kurang ada tiga elemen yang sedang berusaha dikerjasamakan dalam mensosialisasikan Pancasila di era tak ada lagi P-4 dan BP-7.
Tiga elemen itu adalah ideologi, budaya pop dan negara itu sendiri. Ideologi jelas merujuk pada Pancasila, wakil budaya pop adalah pekerja seni, khususnya pedangdut, dan negara, ya legislatif, F-PKB persisnya.
Dengan padat kata, agar gak panjang-panjang lagi, dengan instrumen budaya pop, proses “radikalisasi Pancasila”—bahasa yang dipakai sejarawan Kuntowijoyo sebelum beliau wafat untuk mengganti istilah mengakarkan secara kritis—oleh negara sedang diujicobakan.