[caption caption="Profesor Lapian di hari tuanya. Sumber: agromaritim.net"]
Kedua, pentingnya penelusuran warisan budaya bahari. Diketahui dalam sejarah, tradisi bahari Nusantara di bagian Pasifik memiliki akar yang kuat di Sulawesi, seperti di Kepulauan Sangihe Talaud, juga di Selatan, dan Tenggara. Sementara di Maluku, khususnya Maluku Utara, kita tahu ada dua jejak kerajaan maritim yang kuat di zamannya, Ternate dan Tidore. Di Papua sendiri, budaya maritim juga tumbuh pada masyarakat suku yang bermukim di tepian pantai.
Secara spesifik, penelusuran ini adalah ekspedisi kecil yang dilakukan dengan kebutuhan mengumpulkan karya-karya bahari, serupa pantun, puisi, syair-syair, filosofi dan lain sejenisnya untuk melihat bagaimana tafsir manusia laut atas zaman dan lingkungan hidupnya. “Kita bisa memulai dari Sangihe dan Talaud,” kata beliau saat itu.
Intinya, kita bekerja di wilayah budaya bahari. Usaha ini akan masuk pada perjumpaan dengan warisan pengetahuan, nilai, norma kearifan, filosofi, yang pernah ada, masih bertahan, atau sudah punah seiring perjalanan waktu dimana pembangunan lebih banyak melayani kepentingan nalar daratan gaya Developmentalism.
Dua pesan ini secara pokok bisa dirangkum sebagai usaha awal untuk memasuki budaya dan identitas bahari. Sama bermakna bahwa yang harus diseimbangkan adalah kesadaran budaya bahari di tengah pergeseran orientasi pembangunan ke arah laut.
Peneliti yang bekerja menggali kembali warisan sejarah dan budaya bahari juga dinamika kekiniaannya akan sangat membantu untuk membangun arsip pengetahuan yang itu akan membantu perumusan kebijakan lokal yang bersifat afirmatif. Sementara penelusuran atau ekspedisi kecil yang mengumpulkan warisan pengetahuan masyarakat bahari akan mengalami proses internalisasi diri, pertumbuhan cinta, dan kebanggan sebagai anak-anak laut. Ini adalah sinergi yang dalam pikiran saya bagus sekali.
Menyesalnya, sampai tulisan nostalgia ini disusun, dua pesan ini belum juga terlaksana. Beberapa kawan yang terlibat dalam “proyek” ini sudah sibuk dengan pilihan masing-masing dan beberapa lagi bisa dipastikan sudah lupa. Sayang sekali. Saya sendiri bahkan harus berdiam di Bumi Borneo dan belajar lagi kehidupan pada salah satu penyangga budaya maritim yang masih diabaikan dalam pembacaan rencana pembangunan. Penyangga itu adalah budaya manusia sungai.
Catatan akhir
Di Hari Nelayan Nasional ini, ketika rezim Jokowi mendorong TOL LAUT dan menempatkan menteri yang berani sekaligus menimbulkan guncangan, pesan Prof. Lapian terngiang kembali.
Salah satu yang terus menusuk adalah pesan untuk menggali kembali nilai-nilai maritim dan menghidupkannya ke dalam laku harian, membuatnya terinstitusionalisasi. Hal ini jelas mensyaratkan pelibatan diri serius kalau bukan total. Ada kecemasan kalau ini tidak dilakukan dengan sungguh, laut dan segenap sumberdaya di dalamnya akan jatuh harkat seperti tanah yang didegradasi maknanya sebatas komoditi oleh industrialisme daratan. Jadi hanya pengulangan pola saja seperti anggur lama yang dipindah ke botol baru.
[caption caption="Anak Suku Bajo yang telah akrab dengan laut dan tradisi maritim. Sumber: travel.kompas.com"]
Yang jelas, alasan mendasarnya adalah menjadi nelayan bukanlah sebatas profesi bertahan hidup di tengah kemiskinan yang masih merantai dan bukan mengulang sejarah tergusurnya petani di hadapan logika kota yang konsumeristik. Menjadi nelayan adalah menjaga harga diri manusia maritim, merawat harga diri manusia Nusantara. Celakalah para pengambil kebijakan dan kaum cerdik cendekia yang mengabaikan hal ini. Karena kesalahan di level ini bukan saja merawat rantai kesengsaraan generasi manusia nelayan. Kesalahan politik dan kebijakan pembangunan akan berujung pada penghancuran peradaban maritim yang pernah membuat negeri ini disegani.