[caption caption="Kapal Phinisi Bugis. Sumber: tribunnews.com"][/caption]Rumah kayu panggung yang terletak di punggung bukit itu terlihat tenang. Di bawah langit kota Tomohon yang sejuk, rumah itu mengaurakan tempat bekerja sekaligus beristirahat yang dibutuhkan jiwa yang bergulat dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Saya dan tiga orang adik mahasiswa berjalan menuju pintu rumah tersebut. Mengetuk pintu dan mengucap salam, selamat sore. Tak lama munculah sesosok lelaki yang sudah sepuh. Rambutnya dipangkas tipis seperti kepala tentara yang disiplin. Rambutnya sudah rata memutih hingga alisnya. Bola matanya hitam menyiratkan endapan wawasan yang dalam juga kehangatan. Mata yang mengingatkan saya pada deskripsi Agatha Christie tentang Hercule Poirot.
Silaturahmi kami ke rumah yang teduh di bawah langit kota Tomohon didorong oleh keperluan akademik. Ketika itu, tahun 2008, Sulawesi Utara mendadak ramai dengan beberapa event internasional, salah satunya adalah World Ocean Conference dengan salah satu tema besarnya adalah tentang terumbu karang. Keramaian event internasional ini tidak berhenti sebatas konferensi semata. Pada level gagasan, ide ini ditindaklanjuti dengan satu disertasi Gubernur S.H Sarundajang yang mengembangkan warisan pemikiran Sam Ratulangi tentang Indonesia di Pasifik. Disertasi itu sendiri diuji dalam ruang sidang Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Relatif saat bersamaan, rezim SBY sedang mendorong visi ambisius berjudul MP3EI yang secara sederhana dapat dilihat sebagai rencana pembangunan kantong-kantong ekonomi strategis berbasis pulau, identifikasi sumberdaya alam, “budaya sosial-ekonomi”, juga infrastruktural. Visi MP3EI banyak dikritik terlalu pro modal dan mendorong pulau-pulau itu menjadi makin terbuka dalam kuasa pemodal. Sepintas dilihat, ada bau-bau model Tiongkok zaman Deng Xiaoping dalam visi ini, kalau tidak salah menduga. Hari ini, masih ada yang ingat MP3EI?
Ada pun kedatangan kami ke rumah yang tenang di Tomohon dalam maksud akademik adalah menjumpai salah satu figur penting dalam merintis kajian sejarah maritim di Asia Tenggara. Oleh Anthony Reid, sejahrawan bermazhab Total History yang menulis Kegemilangan Era Perdagangan di Asia Tenggara sekitar tahun 1400-1600-an, sosok ini disebut sebagai sejarawan yang mumpuni dan sangat demonstratif.
Sejarawan perintis kajian sejarah kawasan dan sejarah maritim Asia Tenggara itu bernama Prof. Adrian Bernard Lapian. Seingat saya, disertasinya yang diuji di UGM pada tahun 1985 tentang Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut baru ramai menghiasi ke rak-rak buku pada tahun 2000an sesudah diterjemahkan oleh Komunitas Bambu. Penerbitan yang terlambat sekali ya?
Kedatangan kami ke rumah beliau adalah untuk memohon kesediaannya menjadi pembicara kunci dalam sebuah semiloka kemaritiman. Semiloka ini sendiri adalah bagian dari usaha kecil mendesain wacana yang kembali mengemuka sesudah rezim pembangunan daratan gaya Orde Baru menemui takdir senjakalanya di tengah perubahan relasi dalam sistem dunia di mana Tiongkok muncul sebagai kompetitor paling serius untuk Amerika Serikat. Dalam pada ini, tak sedikit yang menduga bahwa persaingan keduanya akan banyak terjadi di Pasifik, antara lain lewat mekanism ASEAN-China Free Trade Area dan Trans Pacific Partnership. Selain bermain dalam kontrol ekonomi, dunia tahu jika Amerika Serikat sendiri secara berangsur-angsur sudah mulai memusatkan kekuatan militernya di salah satu satelit sekutu mereka, Australia.
Jadi, sederhananya, ada pergeseran kekuatan dan perubahan lansekap yang mendasar di level dunia serta respon nasional Indonesia, paling tidak dalam hemat kami kala itu. Ini sebaiknya ditangkap dalam pembacaan dari aras lokal sehingga paling sedikit dalam tahap awal kita memiliki peta dasar dunia yang berubah dan action plan yang mungkin dilakukan oleh anak-anak muda. Inilah yang menjadi motivasi paling kuat untuk bertemu Prof. Lapian demi meminta kesediaan beliau membagikan tafsir sejarahnya atas kecenderungan hari ini. Agar juga beliau boleh memberi kewaspadaan sekali pun terlambat kepada kami.
Karena tanggal hari ini diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional, saya jadi terkenang dan merasa harus menuliskan pengalaman jumpa yang sungguh berharga. Saya sudah tidak mungkin menjumpai beliau lagi sebab Sang Maha Hidup telah memanggilnya pulang di tahun 2011 silam. Catatan ini sekaligus untuk merawat ingatan perjumpaan dengan beliau.
Dua Pokok Pesan Profesor Adri Lapian
Pertama, ketika memulai percakapan, profesor menunjukkan beberapa kajian sejarawan asing yang menelisik posisi Indonesia di Pasifik. Saya ingat kala itu sebuah buku berbahasa Perancis dengan data yang detail tentang sejarah perdagangan dan perkembangan mutakhirnya. Saya hanya manggut-manggut wong gak ngerti bahasa ibu Foucault, tragis. Lantas kemudian beliau menunjukan buku When China Rules The World karya Martin Jacques yang membahas kemunculan Tiongkok dan prediksi bahwa negeri Tirai Bambu ini akan membalik sistem dunia yang dikendalikan Amerika Serikat.
Pesan profesor saat itu adalah perhatikan dinamika dunia, khususnya dalam pertempuran geostrateginya. Lebih khusus adalah kemunculan Tiongkok, tentu saja. Kita harus membaca ini dengan baik dari sumber-sumber yang berlimpah lalu melihat celah apa rencana aksi di tingkat lokal.
[caption caption="Profesor Lapian di hari tuanya. Sumber: agromaritim.net"]
Kedua, pentingnya penelusuran warisan budaya bahari. Diketahui dalam sejarah, tradisi bahari Nusantara di bagian Pasifik memiliki akar yang kuat di Sulawesi, seperti di Kepulauan Sangihe Talaud, juga di Selatan, dan Tenggara. Sementara di Maluku, khususnya Maluku Utara, kita tahu ada dua jejak kerajaan maritim yang kuat di zamannya, Ternate dan Tidore. Di Papua sendiri, budaya maritim juga tumbuh pada masyarakat suku yang bermukim di tepian pantai.
Secara spesifik, penelusuran ini adalah ekspedisi kecil yang dilakukan dengan kebutuhan mengumpulkan karya-karya bahari, serupa pantun, puisi, syair-syair, filosofi dan lain sejenisnya untuk melihat bagaimana tafsir manusia laut atas zaman dan lingkungan hidupnya. “Kita bisa memulai dari Sangihe dan Talaud,” kata beliau saat itu.
Intinya, kita bekerja di wilayah budaya bahari. Usaha ini akan masuk pada perjumpaan dengan warisan pengetahuan, nilai, norma kearifan, filosofi, yang pernah ada, masih bertahan, atau sudah punah seiring perjalanan waktu dimana pembangunan lebih banyak melayani kepentingan nalar daratan gaya Developmentalism.
Dua pesan ini secara pokok bisa dirangkum sebagai usaha awal untuk memasuki budaya dan identitas bahari. Sama bermakna bahwa yang harus diseimbangkan adalah kesadaran budaya bahari di tengah pergeseran orientasi pembangunan ke arah laut.
Peneliti yang bekerja menggali kembali warisan sejarah dan budaya bahari juga dinamika kekiniaannya akan sangat membantu untuk membangun arsip pengetahuan yang itu akan membantu perumusan kebijakan lokal yang bersifat afirmatif. Sementara penelusuran atau ekspedisi kecil yang mengumpulkan warisan pengetahuan masyarakat bahari akan mengalami proses internalisasi diri, pertumbuhan cinta, dan kebanggan sebagai anak-anak laut. Ini adalah sinergi yang dalam pikiran saya bagus sekali.
Menyesalnya, sampai tulisan nostalgia ini disusun, dua pesan ini belum juga terlaksana. Beberapa kawan yang terlibat dalam “proyek” ini sudah sibuk dengan pilihan masing-masing dan beberapa lagi bisa dipastikan sudah lupa. Sayang sekali. Saya sendiri bahkan harus berdiam di Bumi Borneo dan belajar lagi kehidupan pada salah satu penyangga budaya maritim yang masih diabaikan dalam pembacaan rencana pembangunan. Penyangga itu adalah budaya manusia sungai.
Catatan akhir
Di Hari Nelayan Nasional ini, ketika rezim Jokowi mendorong TOL LAUT dan menempatkan menteri yang berani sekaligus menimbulkan guncangan, pesan Prof. Lapian terngiang kembali.
Salah satu yang terus menusuk adalah pesan untuk menggali kembali nilai-nilai maritim dan menghidupkannya ke dalam laku harian, membuatnya terinstitusionalisasi. Hal ini jelas mensyaratkan pelibatan diri serius kalau bukan total. Ada kecemasan kalau ini tidak dilakukan dengan sungguh, laut dan segenap sumberdaya di dalamnya akan jatuh harkat seperti tanah yang didegradasi maknanya sebatas komoditi oleh industrialisme daratan. Jadi hanya pengulangan pola saja seperti anggur lama yang dipindah ke botol baru.
[caption caption="Anak Suku Bajo yang telah akrab dengan laut dan tradisi maritim. Sumber: travel.kompas.com"]
Yang jelas, alasan mendasarnya adalah menjadi nelayan bukanlah sebatas profesi bertahan hidup di tengah kemiskinan yang masih merantai dan bukan mengulang sejarah tergusurnya petani di hadapan logika kota yang konsumeristik. Menjadi nelayan adalah menjaga harga diri manusia maritim, merawat harga diri manusia Nusantara. Celakalah para pengambil kebijakan dan kaum cerdik cendekia yang mengabaikan hal ini. Karena kesalahan di level ini bukan saja merawat rantai kesengsaraan generasi manusia nelayan. Kesalahan politik dan kebijakan pembangunan akan berujung pada penghancuran peradaban maritim yang pernah membuat negeri ini disegani.
Selamat Hari Nelayan Nasional, selamat siang. Makan doloooo.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H