Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

[Membaca Lagu] Tentang Kesaksian

31 Maret 2016   02:24 Diperbarui: 31 Maret 2016   12:48 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: irieup.com"][/caption]“Words make you think. Music makes you feel. A song makes you feel a thought.”
― E.Y. Harburg (1896-1981)

Sejarah ditulis oleh para pemenang. Bukan mereka yang kalah. Dan ditulis oleh kuasa laki-laki, his-story. Karena itu juga sejarah tidak memberi ruang bagi perempuan (her-story). Mungkin karena itu juga suara mereka yang kalah dan mereka yang perempuan sering "tidak memiliki teksnya". Apalagi dalam narasi resmi sejarah yang dibangun oleh rezim politik tertentu dengan berwatak patriarkis dan menjadikannya ajaran utama di lembaga-lembaga pendidikan formal pun informal.

Dalam sejarah, walau dikepung oleh kekuatan yang memaksanya agar tiada, suara-suara yang kalah dan perempuan selalu memiliki pembelanya. Pembela itu bisa datang dari golongan cerdik cendekia, yang disebut Gramsci sebagai intelektual organik. Frantz Fanon, Mahatma Gandhi, Paulo Freire, adalah beberapa yang menjadi bagian dari intelektual organik yang menentang praktik penistaan manusia khususnya di dunia ketiga. Bila melihat pada kenyataan Indonesia, maka kita bisa menemukan itu dalam sosok generasi Soekarno-Hatta dengan kekhasan mereka masing-masing. Cerdik cendekia ini bukan saja bicara untuk rakyatnya. Tapi yang lebih prinsip adalah berbicara bersama rakyatnya. Penjara tidak bisa membunuh mereka.

Selain cerdik cendekia, juga ada kelompok musisi yang menyediakan dirinya “sebagai corong mereka yang kalah”. Robert Nesta Marley atau lebih familiar dengan Bob Marley adalah salah satu yang bisa disebut untuk perjuangan seperti ini. Pria Jamaika kelahiran tahun 1945 yang tidak pernah dinominasikan dalam Grammy namun memperoleh The Grammy Lifetime Achievement pada tahun 2001 juga menyanyi untuk menyuarakan perdamaian anak manusia. Rasanya hingga hari ini tidak ada yang menggantikan posisi Bob Marley sebagai “Dewa Reggae”.

Di Indonesia, salah satu yang bernyanyi untuk menyuarakan nasib mereka yang kalah atau perempuan adalah Iwan Fals. Pria bernama asli Virgiawan Listanto ini dikenal sebagai legenda yang gemar dengan lirik yang kritis terhadap kekuasaan. Pada reportase mendalam terhadap Iwan Fals yang ditulis oleh Andreas Harsono berjudul Dewa dari Leuwinanggung, kita bisa membaca sosok Iwan sebagai manusia biasa yang belajar, resah dan kemudian protes.Termasuk juga sisi dirinya yang lemah dan melakukan kesalahan-kesalahan.

Menikmati musik yang menyuarakan suara-suara yang kalah dalam industri tanah air rasanya sudah susah, terlebih pada jenis industri major label. Kebanyakan yang didendangkan adalah cinta diadik (hubungan dua manusia beda kelamin) dan segala rupa dinamika rasa di dalamnya, termasuk sakit hati dan pengkhianatan. Musik yang memilih lebih bertahan pada “tak melulu romantisme cinta” sepertinya lebih bergairah pada aktivitas underground atau indie. Entahlah, saya menduga saja.

Saya tidak memahami musik. Atau, dalam konteks musik yang menyuarakan suara yang kalah, tidak terlalu memahami bagaimana menjelaskan secara terang benderang hubungan antara musik dan pembelaan orang kalah. Atau memahami dengan dalam “arti penting seniman mengetahui politik” yang dulu dianjurkan Arief Budiman kepada Iwan Fals. Arief adalah sosiolog yang pernah dipandang sebagai ancaman oleh negara militeristik Orde Baru dan juga merupakan cendekiawan yang mengembangkan sudut pandang sosiologi kritis dalam pembangunan.

Posisi saya dalam hubungan musik, pembelaan orang kalah serta kritik atas kekuasaan hanyalah penikmat yang tidak pernah bosan pada lagu tertentu yang menggetarkan. Lagu yang sungguh membuat merinding! 

Ada senandung lawas yang cukup menghadirkan getar rasa dari sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Kantata Takwa. Kantata Takwa adalah band yang memiliki nama besar pada tahun 90an di mana proses kreatifnya dikerjakan oleh orang-orang bertalenta. Orang-orang terbaik di tahun itu. Ada sosok W.S Rendra, Setiawan Djodi, Iwan Fals, dan Sawung Jabo sebagai pentolan utamanya. Menurut Sawung Jabo, ada ciri yang membedakan grup musik ini dengan grup pada umumnya:

Meskipun merupakan grup musik, Kantata mempunyai kekhasan dibanding grup-grup lain. Kantata lebih tepat disebut sebagai sebuah forum komunikasi, diskusi, dan pengejawantahan kreativitas dari sensitivitas sosio-estetik para personilnya. Visi yang kuat akan kondisi sosial budaya menjadikan mereka sebagai wujud representasi baru atas perjalanan panjang serta dinamika kehidupan masyarakat kita.

Sensitivitas sosio-estetik! Inilah api kritisisme yang menghidupi geliat kreatif personil Kantata Takwa. Sensitivitas yang rasanya kini makin sepi dari proses kreatif lagu-lagu anak muda. Sensitivitas yang bukan saja kemampuan menangkap-mengungkap kegetiran kaum kecil, keberanian menyuarakan, tetapi juga kemampuan menyuarakan kemarahan secara puitis lewat sebuah lagu. 

Lagu yang saya maksud itu berjudul Kesaksian

Aku mendengar suara
Jerit makhluk terluka
Luka, luka
Hidupnya
Luka

Orang memanah rembulan
Burung sirna sarangnya
Sirna, sirna
Hidup redup
Alam semesta
Luka

Banyak orang
Hilang nafkahnya
Aku bernyanyi
Menjadi saksi

Banyak orang
Dirampas haknya
Aku bernyanyi
Menjadi saksi

Mereka
Dihinakan
Tanpa daya
Ya, tanpa daya
Terbiasa hidup
Sangsi

Orang-orang
Harus dibangunkan
Aku bernyanyi
Menjadi saksi

Kenyataan
Harus dikabarkan
Aku bernyanyi
Menjadi saksi

Lagu ini
Jeritan jiwa
Hidup bersama
Harus dijaga
Lagu ini
Harapan sukma
Hidup yang layak
Harus dibela

Lirik Kesaksian ditulis oleh W.S Rendra. Dalam susunan kata-katanya kita bisa melihat lirik sangat bertenaga kala mengungkap kegetiran, kemalangan, kekalahan dan seruan pembelaan atas orang-orang yang kalah. Dan jika mendengarnya dengan suasana tenang, saya kira aransemen musik, lirik dan vocal-nya bisa memberi getar emosi yang konsisten membuat merinding. Lantas bisa tiba-tiba dihadapkan dengan pertanyaan: sudah berbuat apa untuk manusia yang lain selama ini?

Ambil faktualitas saja. Orang-orang kalah adalah mereka yang dihinakan dan dibuat hidup dalam terbiasa sangsi atau ragu-ragu. Dalam kenyataan kita mudah sekali menemukan mereka yang kalah lalu bersikap pasrah, menjadi manusia yang fatalistik. Padahal, kekalahan mereka tidak selalu karena mereka enggan atau malas-malasan berjuang. Mereka juga tak selalu kalah karena bodoh. Tak jarang kekalahan mereka dikondisikan oleh sistem politik dan ekonomi yang timpang. Sistem di mana distribusi sumber daya ekonominya dikendalikan untuk menyejahterakan segelintir orang lewat kontrol yang total terhadap sirkulasi elit politik dan kebijakan politik.

Sistem yang bekerja untuk menjaga keberlimpahan dari kelompok tertentu tidak selalu mudah terbaca seperti membaca berita koran atau laporan resmi statistik. Untuk memahami pembentukan sistem seperti ini, tak jarang kita harus masuk ke ragam pikiran dalam school of thought tertentu agar dapat menemukan sudut pandang dan membenamkan diri dalam riset demi membuktikan kesesuaian sudut pandang tersebut. Tapi ini saja tidak cukup sebab ia masihlah bekerja pada tataran permenungan. Masih dalam level menafsir, belum cukup.

Demikian juga dalam Kesaksian, WS. Rendra tidak membiarkan orang-orang kalah yang dihina ini sendiri dalam fatalisme mereka. Rendra mendorong satu ajakan, meminta sebentuk sikap bersama:

Lagu ini jeritan jiwa hidup bersama harus dijaga. Lagu ini harapan sukma hidup yang layak arus dibela!

Menjalani hidup yang layak adalah cita-cita manusia merdeka, selain kebebasan yang dipikirkan pada pendiri republik. Tanpa hidup layak, kita tidak bisa memiliki mimpi yang besar. Termasuk juga, dalam hidup yang tidak layak, sangat bisa jadi kita memiliki peluang yang kecil untuk memutus mata rantai kesengsaraan. Oleh dari itu, hidup yang layak adalah hidup yang memanusiakan manusia, wajib dibela dan perjuangkan. 

Karena itu juga, mendengar lagu ini akan terasa seperti sedang mendengar pamflet politik yang dibacakan dengan nada sendu. Pamflet politik yang pernah ada dalam zaman revolusi kemerdekaan yang meramaikan vergadering lantas dibacakan lagi pada sebuah era dimana tuan-tuan kolonial telah pulang kampung namun sistem yang menopang kuasa praktik kolonialisme masih kenyal lagi liat.

Kesaksian sepertinya dibuat oleh kesadaran post-kolonial paradigm: kesadaran yang mengajak secara kritis memeriksa kembali situasi hidup hari ini dalam kecurigaan bahwa sistem dan praktik yang berlangsung masihlah dalam warisan kolonialisme.

Ada benarnya kata-kata E. Y. Harburg yang menjadi pembuka tulisan ini. Dan, saya rasa, di tengah hiruk pikuk politik pun gonjang-ganjing intrik elit yang memenuhi berita media massa dengan omong kosong setiap hari sehingga lambat laun menjadi tontonan yang banal, sepertinya kita butuh mendengar lagu yang mengingatkan hidup mereka yang malang, mudah terjerumus fatalisme dan dihinakan. Dengan begitu kita mungkin bisa terus waspada terhadap bahaya dari banality of politics.

Kesaksian Kantata Takwa adalah salah satu yang mungkin membantu.

Salam dini hari.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun