[caption caption="ilustrasi politik. sumber : pamirtimes.net"][/caption]Memang sudah sejak lama keriuhan politik tidak pernah bisa bersih dari cara-cara yang gemar mengeksploitasi atribut primordial manusia ketika bertarung rebut pengaruh. Jangankan terhadap kesadaran yang awam, kaum intelektual atau mereka yang merasa intelek pun bisa tersungkur dalam cara berpikir-bertindak demikian. Bahkan jika kita perluas, dalam lingkup kebudayaan, kegemaran mengeksploitasi atribut primordial manusia demi memenangkan pengaruh politik pun tumbuh mekar atau menjadi latency yang lintas budaya.
Indonesia, salah satu simpul pinggiran dalam sistem dunia kapitalisme lanjut, pun termasuk yang memiliki keriuhan politik demikian. Tidak terbatas pada pilpres, pada banyak pilgub masih mudah sekali ditemukan provokasi primordial yang sesungguhnya mencemaskan. Tidak sebatas DKI, di daerah juga mudah sekali mendengar provokasi sejenis. Tak hanya di desa yang konon memiliki tingkat homogenitas sosial tinggi, di kota-kota yang (juga konon) menjadi lokomotif modernitas, laku provokasi seperti ini kenyal bertahan.
Ironisnya, kita menyadari bila republik ini tidak didirikan oleh salah satu etnis atau golongan tertentu, namun masih saja mudah menonjolkan klaim dominasi golongan tertentu. Bahkan dalam klaim yang lebih radikal, kita (seharusnya) percaya bahwa di kepulauan Nusantara yang sarat perlintasan dan percampuran budaya Timur dan Barat, yang disebut genuine itu hampir mustahil ditunjukan. Tapi kita masih saja merawat ilusi bahwa kita yang paling berhak memutuskan hal-hal strategis karena mentalitas mayoritas.
Saya tidak mencari penjelasan pada narasi masa lampau atau konstruksi sistem ekonomi dan politik yang menciptakan lingkungan subur bagi pertumbuhan cara pandang negatif terhadap perbedaan atribut primordial manusia seperti etnisitas dan struktur ras atau juga agama. Dalam keriuhan politisasi atribut primordial yang selalu ramai berseliweran lagi di cyber world kala musim pemilihan kembali, saya hanya ingin menunjukkan dua cara pandang atau bersikap yang acapkali diabaikan.
Cara pandang yang sering dilupakan ketika provokasi berkembang makin liar lantas bergulung seperti bola salju dan hanya berhenti di ujung putaran atau menghantam benda yang lebih keras dari dirinya. Provokasi yang berhenti ketika segalanya sudah remuk berantakan.
Kembali pada dua Cara Padang atau Sikap
Apa cara pandang atau bersikap yang sering diabaikan itu?
PERTAMA, cara pandang anak-anak.
Nietzsche—hadoh, mengutip manusia ini lagi-- pernah bilang kita tidak sempurna menjadi orang dewasa jika tidak pernah menemukan (lagi) kesungguhan anak-anak dalam bermain.
Kita tahu bersama, bahkan pernah mengalaminya, dunia anak adalah dunia yang tumbuh memelihara dirinya dalam perjumpaan langsung yang masih tanpa kategori, tanpa prasangka, tanpa kecurigaan negatif dan tanpa sikap merasa paling benar. Anak-anak belum memiliki definisi dirinya berbeda dalam perjumpaan tersebut. Bahkan situasi perjumpaan disambutinya dengan antusiasme yang asik dan bergembira dalam bermain bersama.
Hemat saya, pada fase seperti ini, dunia anak belum memiliki "aku yang kaku atau ekslusif". Bukan pula aku yang menunjukan tingkat pertembangan individu menuju arah yang semakin dewasa dan menyambut perbedaan sebagai kekayaan yang dibutuhkan demi mengenal arti diri dan Sang Pencipta.
Benar bahwa dunia anak adalah dunia bercermin (mirror fase). Karenanya rangkaian peran juga bahasa yang digunakan mereka dalam berinteraksi cenderung mengutip manusia dewasa. Dalam proses ini, dunia anak memang mudah sekali menjadi pertunjukan tiruan, sesuatu yang memang sering terjadi dalam fase internalisasi.
Sebagai orang dewasa yang pernah menjalani dunia anak, yang menjadi relevan dalam kebutuhan menantang provokasi primordial dalam politik adalah kemampuan mengelola ketegangan antara dunia anak yang masih tanpa kategori tadi dan laku peniruan atas orang dewasa agar tidak jatuh pada salah satu ekstrim. Menjadi sepenuh tanpa kategori dalam cara pandang terhadap perbedaan adalah ketidakmungkinan yang niscaya. Demikian juga, terkurung dalam laku peniruan terus menerus adalah kegagalan yang dungu.
Secara praktis, dari pengalaman dunia anak, yang bisa kita rumuskan dalam menghadapi provokasi atribut primordial dalam keriuhan politik adalah:
Pertama, melepas atau memberi tanda kurung (istilah dari perintis fenomenologi, Edmund Husserl) pada seluruh kategori primordial kita sendiri. Memberi tanda kurung ini juga bermaksud agar kita tidak lekas menjustifikasi kelompok atau pribadi tertentu karena gelora prasangka atau karena melayani naluri subhuman yang menjadi energi hitam dalam massa seperti yang ditakuti oleh filsuf Elias Canetti.
Secara praktis, memberi tanda kurung pada kategori pandang sendiri bukan berarti membuang isi subyektif kita secara total. Ini jelas tidak mungkin dilakukan. Yang dimungkinkan dari cara ini adalah menahan sejenak penilaian subyektif kita dan membiarkan kesadaran terbuka berdialog secara aktif dalam perjumpaan dengan kemajemukan kehadiran primordialitas manusia.
Kedua, dalam keberanian menahan prasangka primordial sendiri lantas merelakannya berdialog dalam kemajemukan kehadiran, kita akan didorong secara aktif membangun pengertian-pengertian baru yang lebih kaya dan lebih dewasa memaknai kemajemukan kehadiran. Pengertian yang baru ini tentu tidak semata berasal dari perjumpaan yang langsung namun juga dari pengendapan pembacaan atas teks sejarah, kebudayaan juga hubungan positif agama-agama.
Tantangannya ada pada kemampuan manusia dewasa. Persisnya keberanian manusia dewasa mengelola ketegangan: tidak terjatuh pada “ketiadan kategori cara pandang” yang naif dan saat yang sama sikap tidak lekas terbawa arus massa yang terprovokasi (: bentuk paling mutakhir dari peniruan terus menerus tanpa sikap kiritis).
Sesudah cara pandang dunia anak, cara pandang atau sikap KEDUA yang bisa dijadikan “ujicoba belajar budaya” menghadapi provokasi primordial dalam kompetisi politik yang sakit adalah memberi tanda kurung pada politik itu sendiri.
Memberi tanda kurung bermakna bahwa kita perlu memeriksa seluruh cara pandang atau pengertian yang terlanjur terbentuk, entah melalui media massa, social media, atau juga “sumber-sumber pengetahuan” yang mengitari keseharian kita.
Cara memeriksa cara pandang politik bisa dilakukan dengan banyak cara. Misalnya saja menjumpai orang-orang yang memaknai politik sebagai dunia dimana segala warga negara memiliki hak untuk terlibat berkompetisi di dalamnya. Bisa juga dengan mendiskusikan pikiran dengan penjelasan-penjelasan para ahli tentang kehidupan politik, krisis-krisis yang mengidap padanya, juga alternatif yang dibayangkan bisa memperbaiki atau menggantinya secara baru.
Singkat kata, kita kembali menjadi pembelajar di depan keriuhan politik. Kita memberi jarak terhadap berisiknya politik.
Secara praktis, salah satu yang bisa dilakukan seperti ini. Kita mendorong satu tanda tanya: mengapa sistem politik hari ini selalu mudah sekali terperangkap dalam provokasi primordial ketika musim kompetisi hadir lagi? Apa yang salah dengan sistem politik yang seperti ini? Atau, mengapa sehingga provokasi berbahaya seperti itu bisa bersemarak dan seolah saja menemukan panggung pertunjukkannya lantas disorak-soraki seolah lakon yang waras?
Kita coba cari penjelasan terhadap segala tanya itu pada buku sejarah, teori politik, dan juga pengalaman-pengalaman faktual yang kita alami secara langsung. Sekali lagi, dalam perjumpaan dengan teks sejarah atau teori politik juga pengalaman faktual tersebut, posisi kesadaran (standing position) kita adalah pembelajar, pemilik kesadaran yang sedang dalam tanda tanya dan tak puas dengan satu jawab saja.
Saya kira, kesadaran yang belajar akan selalu menghidupi dirinya dalam tanda tanya dan kegairahan mencari pengertian yang sesuai. Kesediaan menurunkan kesadaran menjadi pembelajar atau pemula juga akan sangat membantu dalam mengerem diri berjibaku dalam keramaian provokasi. Keberjibakuan yang diakibatkan naluri subhuman yang terbakar lantas membuat jatuh derajat menjadi binatang irasional. Binatang irasional yang merasa sedang terluka namun entah karena apa.
Catatan penutup
Bagi saya, dua cara ini perlu dihidup-peliharakan lagi pada kesadaran kita sebagai manusia dewasa. Hari ini kita bukan sembarang generasi manusia dewasa yang serupa generasi kakek buyut berpuluh atau ratus tahun lalu dimana digitalisasi demokrasi masih dalam imajinasi yang asing.
Kita hidup dalam era yang sangat terbuka dan cenderung terbentuk dari benturan, tabrakan, dan pembentukan terus menerus dimana sumber-sumber energinya sering tidak mudah terlacak. Karena itu juga era hari ini adalah modernisme yang tungganglanggang, serupa juggernaut yang melintas liar dan menabrak apa saja seperti dalam kecemasan Anthony Giddens. Uniknya, dalam tumbukan-tabrakan intensif itu, kita justru ditantang untuk berani melihat pengertian-pengertian baru atas situasi masyarakat, budaya, politik atau bahkan arti eksistensial diri sendiri.
Dan saya rasa, menyambung dengan era benturan, Antonio Gramsci yang menulis teks filsafat politiknya dalam penjara itu masih benar ketika mengatakan: the challenge of modernity is to live without illusions and without becoming disillusioned.
So, dalam provokasi primordialisme yang liar atau kompetisi politik yang sakit, jangan mengorbankan kemuliaan nalar yang merupakan anugrah terbaik penciptaan dihina oleh ilusi-ilusi melalui provokasi politik. Kembali belajar pada dunia anak dan berani memberi jarak/tanda kurung atas segala macam provokasi politik priomordial yang mengancam kemajemukan hidup manusia mungkin bisa menjaga diri kita sendiri.
Saya kira, pada abad digitalisasi demokrasi, kita memang butuh kembali menjadi pemula yang selalu belajar dan bergembira menyambut kemajemukan seperti anak-anak yang bermain.
Selamat setengah siang, Salam!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H