Secara praktis, salah satu yang bisa dilakukan seperti ini. Kita mendorong satu tanda tanya: mengapa sistem politik hari ini selalu mudah sekali terperangkap dalam provokasi primordial ketika musim kompetisi hadir lagi? Apa yang salah dengan sistem politik yang seperti ini? Atau, mengapa sehingga provokasi berbahaya seperti itu bisa bersemarak dan seolah saja menemukan panggung pertunjukkannya lantas disorak-soraki seolah lakon yang waras?
Kita coba cari penjelasan terhadap segala tanya itu pada buku sejarah, teori politik, dan juga pengalaman-pengalaman faktual yang kita alami secara langsung. Sekali lagi, dalam perjumpaan dengan teks sejarah atau teori politik juga pengalaman faktual tersebut, posisi kesadaran (standing position) kita adalah pembelajar, pemilik kesadaran yang sedang dalam tanda tanya dan tak puas dengan satu jawab saja.
Saya kira, kesadaran yang belajar akan selalu menghidupi dirinya dalam tanda tanya dan kegairahan mencari pengertian yang sesuai. Kesediaan menurunkan kesadaran menjadi pembelajar atau pemula juga akan sangat membantu dalam mengerem diri berjibaku dalam keramaian provokasi. Keberjibakuan yang diakibatkan naluri subhuman yang terbakar lantas membuat jatuh derajat menjadi binatang irasional. Binatang irasional yang merasa sedang terluka namun entah karena apa.
Catatan penutup
Bagi saya, dua cara ini perlu dihidup-peliharakan lagi pada kesadaran kita sebagai manusia dewasa. Hari ini kita bukan sembarang generasi manusia dewasa yang serupa generasi kakek buyut berpuluh atau ratus tahun lalu dimana digitalisasi demokrasi masih dalam imajinasi yang asing.
Kita hidup dalam era yang sangat terbuka dan cenderung terbentuk dari benturan, tabrakan, dan pembentukan terus menerus dimana sumber-sumber energinya sering tidak mudah terlacak. Karena itu juga era hari ini adalah modernisme yang tungganglanggang, serupa juggernaut yang melintas liar dan menabrak apa saja seperti dalam kecemasan Anthony Giddens. Uniknya, dalam tumbukan-tabrakan intensif itu, kita justru ditantang untuk berani melihat pengertian-pengertian baru atas situasi masyarakat, budaya, politik atau bahkan arti eksistensial diri sendiri.
Dan saya rasa, menyambung dengan era benturan, Antonio Gramsci yang menulis teks filsafat politiknya dalam penjara itu masih benar ketika mengatakan: the challenge of modernity is to live without illusions and without becoming disillusioned.
So, dalam provokasi primordialisme yang liar atau kompetisi politik yang sakit, jangan mengorbankan kemuliaan nalar yang merupakan anugrah terbaik penciptaan dihina oleh ilusi-ilusi melalui provokasi politik. Kembali belajar pada dunia anak dan berani memberi jarak/tanda kurung atas segala macam provokasi politik priomordial yang mengancam kemajemukan hidup manusia mungkin bisa menjaga diri kita sendiri.
Saya kira, pada abad digitalisasi demokrasi, kita memang butuh kembali menjadi pemula yang selalu belajar dan bergembira menyambut kemajemukan seperti anak-anak yang bermain.
Selamat setengah siang, Salam!
***
Â