“Jangan bertindak melampaui kemampuan diri hanya karena meyakini itu wujud cinta yang spontan, selalu bergairah dan nekad berkorban.” katamu suatu ketika. Kala itu aku mengajukan keinginan untuk membelikanmu sepeda motor Suzuki A100.
“Agar kau tak perlu terlalu jalan kaki berkeliling membawa bakul gado-gadomu.”
“Tidak begitu menunjukkan cinta Na. Kita bukan tumbuh dan mengikat janji dalam manja. Cinta kita terlahir dalam hidup yang selalu lelah. Atau, kau sudah tak lagi bergairah karena jejak varises melukis guratnya di betisku?” protesmu genit. Sungguh keras hati yang merawat jatuh cintaku setiap hari.
“Hehehe. Aku hanya tidak bisa melihat kamu kecapean dan sering mengigau.Sudah sebulan selalu begitu.”
“Aku masih kuat. Kalau pun mengingau, itu artinya aku bahagia menjadi belahan perjuanganmu. Jangan lupa, aku memilihmu karena memperjuangkan kebahagiaan kuli bangunan yang mengharamkan mengeluh. Dan, kau hanya menghancurkan keluh kesah kepadaku.”
Tak ada lagi tambahan penjelasan. Hanya kecupan di kening. Kecupan yang membuat risauku seolah mundur puluhan tahun, serasa bocah yang terdiam tenang dalam peluk ibunya. Nini, kau memang selalu lebih kuat menikmati kerasnya hidup sebagai istri dari kuli bangunan.
Tapi rasa-rasanya, sebulan ini, kecupanmu kini seperti isyarat yang membuat kerisauanku sembunyi sejenak dan kemudian memaksa berjaga tengah malam ketika kau mengingau dalam tidur. Sudah sebulan ini, terus saja begitu setiap tengah malam.
Apakah kau sudah tak kuat lagi memikul bakul, Ni?
***
“Nan, mau ikut gak?”
“Emang berapa upah hariannya?”
“Lumayan. Delapan puluh ribu per hari. Gimana?”
Pikiranku membayang, angan kecilku bakal terlaksana. Duit tabungan yang kusembunyikan hanya membutuhkan sedikit lagi tambahan agar boleh membawa pulang motor A100. Dengan bayaran sebesar itu dalam sebulan aku bisa menggenapkan tabungan 700ribu menjadi sejuta. Ah, Nini sayang, kelak kau tak perlu lagi berjalan kaki menjajakan gado-gadomu. Kau tak harus mengingau setiap malam dan membuatku terjaga selalu.
“Oke Jak. Aku ikut. Besok kita berangkat kan?”
Jaka hanya menganguk. Tersenyum. Aku pamit meninggalkan warung kopi di pinggir kali yang sering menjadi ruang jumpa kuli-kuli yang menunggu ajakan kerja. Langkahku hanya ingin segera tiba di kontrakan, menanti Nini pulang dan menceritakan ajakan kerja sebulan dari Joko.
Sesampai di rumah, matahari belum terlalu jauh tergelincir ke barat. Pintu rumah kontrakan masih seperti beberapa jam lalu ditinggal. Kau belum pulang. Atau sebaiknya kususul saja?
“Sebaiknya kususul saja.” batinku.
Langkah memburuku kali ini lebih cepat lagi. Ingin sekali berbagi kabar gembira. Sebulan akan memisahkan kita untuk sementara demi motor tua. Demi menjaga langkahmu menjauh dari lelah berkeliling.
Aku menyusuri pinggiran kali dan menuju kompleks perumahan yang padat. Sebenarnya pilihan rute yang berbahaya karena harus meniti bantaran curam yang belum selesai dibangun tanggulnya. Salah menginjak kaki bisa tergelincir dengan kepala menemui bongkahan beton kasar di dasar bantaran.Tapi ini satu-satunya rute yang cepat untuk tiba menjumpaimu, kekasih.
Tetiba saja, seratus meter di depan sana, teriakan histeris terdengar memekakan sepi.
“Naaa.....nn....”
Nini? Suaramukah itu? Panggilan terputus itu, teriakanmukah?
Nini?
Haaaa. Aku berlari bersama tergelincirnya bayang dari tubuh yang kukenal setiap inci lekuknya. Tubuhmu Ni, tubuhmu yang lelah dengan betis yang makin berotot dan bergurat urat biru kehijauan seolah tersedot cepat ke dasar bantaran. Ketakutan dan kepiluan bercampur liar di hatiku.
“Niniiiiiiii......”
Lariku berhenti juga, tepat di posisi sempurna memandang tubuhmu yang menuju kaku di bawah sana. Rambut hitammu yang sering terikat itu kini tergerai dan berlumuran darah kental. Pecah.
Teriakanku menghempas segala kesunyian yang perlahan menuju malam di tepi bantaran. “Niniiiiiiiiiiiiiiii......”
Bantaran kali celaka telah mengambil hidupmu. Telah memisahkan kecupmu dari keningku yang manja. Telah mengambil igau tidur yang menjagaku sebulan terakhir. Jika saja dana proyek pembangunan dindingnya tidak dikorupsi, kau mungkin tidak harus menemui mati setragis ini Nini.
Kematian tidak boleh mengambilmu dari pelukku. Tidak boleh merenggut hidupmu dengan cara seperti ini.
Braaaaak...kraaak...kakiku tiba juga di dasar bantaran curam ini. Sepertinya pergelangan kakiku patah Ni. Kulihat bahumu masih bergerak bersama darah kental yang terus mengucur. Kau masih bernafas? Masih adakah sedikit sisa hidupmu yang boleh aku kenangkan? Kalau memang harus mati, matilah dalam hangat pelukanku. Maka dengan pergelangan kaki yang patah, tubuhku merayap menggapai tubuhmu yang makin pelan menunggu mati.
“Niiii...”
Dalam peluk dan kecup yang berulang, aku memanggil namamu, lirih bersama isak tertahanku yang sesak. Aku memanggil cinta yang kini makin pelan menghembus nafasnya. Ni, malaikat maut sedang mencabut nyawamu pelan-pelan, sayang. Kau tentu kesakitan sekali, kekasih. Tapi malaikat tahu kau kekasih yang seharusnya mendapatkan bahagia abadi.
Dalam peluk terakhirku, kusadari di genggaman tanganmu yang makin lemah, selembar kwitansi pembayaran motor Suzuki A100 terselip. Ni, kau telah lebih dahulu membayar motor yang masih menjadi anganku untuk membahagiakan langkah lelahmu menjaja gado-gado. Kau juga menempuh jalan pada bantaran laknat ini karena ingin segera memberiku kejutan dari buah lelahmu Ni. Baru kutahu, lelahmu yang mengingau karena kaulah yang memaksakan diri, bukan kerja kuliku.
Kau mencintaiku melampaui lelahmu sendiri!
Lantas, buat apa ini semua jika kerja keras kita untuk menjaga cinta dan kebahagiaan harus menjadi tragedi di senja yang sepi?
Oh, where oh where can my baby be?
The Lord took her away from me
She's gone to heaven, so I got to be good
So I can see my baby when I leave this world
[Last Kiss, Pearl Jam]
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H