Persisnya, secara padat, deparpolisasi adalah gejala matinya fungsi-fungsi dasar partai politik, seperti fungsi idelogisasi warga negara, kaderisasi pemimpin politik, akselerasi kepentingan publik, partisipasi riil konstituen, dan pengabdian pada mandat konstitusi bersama. Deparpolisasi juga adalah sebuah kondisi dimana partai berkembang dalam kendali dua kutub power: oligarki dan dinasti, sehingga membuatnya menjadi alat politik segelintir orang atau aliran darah. Deparpolisasi juga adalah krisis dalam relasi kuasa antara politisi dan konstituen dimana sesudah pemilu, politik sepenuhnya menjadi wilayah elit. Deparpolisasi juga bisa dimaknai sebagai pertumbuhan jejaring politik non partai yang mengajukan diri untuk menghadapi persekutuan elit partai dalam satu kompetisi resmi.
Karena itu juga, deparpolisasi bisa berlangsung dalam dua kecenderungan. Dari dalam dan dari luar.
Dari dalam, sebagaimana terpantul dalam tradisi pembentukan elit politik hari ini. Adalah ketika jalur kepemimpinan partai itu terlalu dikendali oleh suami, istri, anak, keponakan, bahkan cucunya. Termasuk juga ketika politik menjadi arena negoisasi tertutup segelintir elit untuk mengatur distribusi ekonomi kepada klan-klan yang mereka layani dan rakyat terus saja jungkir balik mencari makan di depan menara pencakar langit. Kehidupan elit tetap saja seperti kemewahan yang tidak bisa pernah dibagikan dan kesengsaraan jelata adalah nasib yang tidak boleh dihapuskan. Politik hanya aktif ke atas, tidak ke bawah.
Sementara dari luar, dilakukan oleh inisiasi yang berani, jejaring kerja yang solid menguji elektabilitasnya berhadapan dengan insitusi partai. Pada kasus Ahok, yang berbeda barangkali karena ia memiliki potensi menang. Secara normal, seharusnya Ahok mudah mendapat dukungan formal partai yang berebut pengaruh di Jakarta. Tapi ia memilih jalur non-partai sehingga, jika menang telak, sejarah yang ditulis Ahok dan jaringan kerja yang menopangnya adalah narasi seorang pejabat populer, dari daerah alias tidak dikader Ibukota, tipe yang susah diatur memalukan partai-partai di pusat kekuasaan negeri ini. Narasi seperti ini bisa menjadi contoh dan mungkin juga preseden untuk pertarungan politik di lokasi negeri yang lain.
Tapi yang lebih berani jika rakyat banyak menggalang diri dan mengatakan: kami menolak partai politik datang ke rumah kami mulai detik ini hingga jangka waktu yang tidak ditentukan!
Eeh, jangan dong, nanti tercipta anarki?
Ya biar saja. Lalu apa yang salah dengan anarki dalam politik? Mengapa kita boleh merelakan diri dikerjai proseduralisme demokrasi yang berulang mengkhianati tapi takut “membunuh” partai-partai itu demi tanah pertiwi yang makin rentan bencana karena salah kelola pemerintahan?
Coi, jangan melihat anarki sebagai kekacauan total dimana kehidupan politik dihidupi dengan perang saudara atau sejenisnya. Coba jadikan anarki sebagai metode, sebuah cara/kiat kita menegoisasikan posisi konstituen terhadap petinggi/elit partai. Ya kita harus bernegoisasi lagi karena yang menjadi sumber legitimasi adalah kita, bukan para elit dan keturunannya atau sekutu-sekutunya. Anarki adalah teknik memberi jeda atau moratorium pada partai politik.
Saya ingat, di hiruk pikuk Jakarta, ada dua karib yang jadi pengojek. Setiap pemilu tiba atau partai-partai memiliki hajatan di musim tenang, mereka berdua selalu sibuk. Entah mengantar nasi kardus, mencari mobilisan yang sudi hadir, menyewa metro mini, atau memasang bendera dan spanduk di jalanan. Tapi sesudah keramaian hajat, mereka tetaplah tukang ojek yang menunggu rupiah berjam-jam di salah satu pojok terminal Kampung Melayu.
Partai-partai benar-benar telah membuat orang-orang kecil tidak lebih berharga dari alat, daftar benda-benda saja. Deparpolisasi dari dalam pada hubungan seperti ini sungguh-sungguh menghilangkan arti manusia, makna konstituen, juga prinsip mandat dalam politik. Saya sangka ini juga bukan saja khas Jakarta tapi sudah merata dimana-mana.
Jadi, mengapa masih takut mengajukan anarki kepada politik? Atau, mengapa hanya sibuk menggaduhkan deparpolisasi?