Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sesudah Deparpolisasi, Lantas?

14 Maret 2016   07:25 Diperbarui: 14 Maret 2016   10:26 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari urusan tragedi hingga suksesi, Jakarta adalah poros peristiwa. Dari perkara kemiskinan di jalanan hingga gaya hidup di jantung-jantung konsumsi citra, Jakarta adalah kontras yang paling sempurna. Dari urusan wacana paling kini hingga kegaduhan isu yang berulang, Jakarta adalah sebuah persilangan sempurna dunia kampus, rapat petinggi politik dan sidang deadline redaksi.

Yang terkini adalah tentang deparpolisasi menjelang pemilihan gubernur DKI. Apa yang baru dari istilah ini sehingga tetiba saja banyak pikiran mendadak sibuk menjelaskan dengan kebanyakan porsi seperti cara berpikir tim sukses calon? Mengapa tidak bertanya lebih ke belakang: tidakkah deparpolisasi dalam kultur politik dimana partai-partai tidak berfungsi setaat ideal yang dibayangkan baik oleh dasar-dasar sistem politik pun pengalaman faktual politik harian bukannya sudah lama terjadi? Atau pertanyaan yang lebih langsung: sebenarnya kapan kita merasa partai itu ada-benar-berguna?

Saya khawatir, kegaduhan membahas deparpolisasi ini adalah kegaduhan yang latah kalau bukan sia-sia belaka. Mungkin ada baiknya, dalam konteks ini, sebaiknya jangan ramai dulu. Sangat bisa jadi gaduh yang berjalan ini sekedar taktik yang disebar untuk “mengukur riak air dan munculnya ikan-ikan”. Ikan besar yang melompat dalam riakan yang akan dikepruk. Apakah tidak begitu Coi?

Maka, demi menunda gaduh sebentar, mari agak berhipotesis sedikit: dalam konteks sistem politik yang “ideal” dalam teori politik Barat yang kita cangkok habis ide juga formasi lembaganya, sudah lama partai-partai itu menempuh jalan deparpolisasinya.

Untuk melihat jalan deparpolisasi yang sudah lama ditempuh, mari mulai dengan melihat sedikit pada sejarah sendiri. Tidakkah dalam sejarah pemikiran partai politik kita, jejak deparpolisasi sudah lama terbaca sebelum mewujud menjadi praktik harian?

Misalnya saja. Jika tak salah, satu garis perbedaan antara Moh.Hatta dan Ir.Soekarno adalah dalam perkara bagaimana sebaiknya sebuah partai politik dibangun. Hatta mensyaratkan kaderisasi dan ideologisasi yang terstruktur sementara Soekarno lebih mengutamakan kepemimpinan yang kuat dan kharismatik.

Hatta mengutamakan pembangunan sistem dalam partai, Soekarno mendahulukan kepemimpinan yang membawa arah partai. Dan sejarah hingga hari ini menunjukkan jika pilihan Soekarno-lah yang sedang berulang di banyak tempat sekalipun judul eranya kita rentangkan dari orde lama-baru-reformasi. Puncaknya ketika Soeharto berkuasa, ia berhasil membangun sistem negara yang disebut dengan negara otoriter birokratis, deparpolisasi (via negara) makin sempurna dengan kebijakan floating mass dan fusi partai.

Jadi bagaimana memaknai deparpolisasi pada era paska generasi Soekarno-Hatta?

Hari-hari kita bukan tidak ada perdebatan tentang sistem politik dan krisis yang mengidap padanya. Bukan juga tidak ada kritik-kritik baru terhadap demokrasi prosedural. Bukan juga tidak ada pengajuan ide-ide mutakhir tentang demokrasi radikal. Lah, terus masalahnya dimana? Entahlah. Kita bahas saja deparpolisasi, ya.

Saya kira deparpolisasi jangan melulu diletakkan sebagai kemerosotan daya pikat partai dalam proseduralisme kompetisi demokrasi semata. Saya gunakan istilah daya pikat untuk menunjukkan "mentalitas pesolek atau pengguna pesugihan" yang memang khas partai politik bukan? Jadi, jangan hanyut tenggelam melihat Ahok yang berani maju via jalur independen lantas muncul bola opini deparpolisasi dan kita terhentak. Media massa makin bikin gaduh dan riuh, kita sempurna sebagai pemandu soraknya. Luar biasa.

Bagi saya, deparpolisasi itu (masih) susah-susah mudah dimengerti. Nalar politk saya memang masih sering bingung dengan tingkah polah politik yang seringkali seperti dunia perdukunan. Barangkali demi mudahnya, bayangkan saja gambar berikut: ketika musim pemilu tiba dan mendadak di halaman rumahmu yang sempit banyak sekali umbul-umbul yang harus dipasang pada jalan-jalan gang. Sesudah semua pemilu kembali sepi. Kau bahkan tidak bisa menyakini politisi yang kau pasang umbul-umbulnya juga kau coblos nama-gambarnya itu boleh membantu mempertahankan jalan gang di depan rumahmu tidak jatuh ke tangan pengembang superblok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun