Tidak ke mana-mana?
Pertanyaan itu tidak kukejar jawabnya. Pikiran yang sedang meneliti kerasnya hidup di Italia Selatan tampak lebih menarik. Jadi kuambil saja hape yang belum lunas dicicil, memasang headset dan mendengar lantunan musik. Lantunan yang sering hadir manakala lelah berubah menjadi kantuk yang suntuk.
Kereta senja dari Jakarta
Berhias temaram cahaya memerah
Yang aku rindu, benar-benar rindu,
Jatuh hati ini padamu, lain orang tak ada
Dalam menutup mata, kucari jejak romantika rindu dalam lirik-liriknya. Sederhana. Sebuah nyanyi rindu yang menguatkan para penumpang kereta menjalani lelah yang sama hampir setiap hari. Hingga aku tertidur dalam duduk.
Entah berapa lama.
***
Colekan agak dalam menyentuh pundak membuyarkan tidur. Terperangah dengan mata memerah, kulihat duduk kita berjarak selengan jangkauan.
“Keretamu sebentar lagi tiba.”
Aku mengucak mata, mengembalikan sadar. Kemudian berdiri dan merenggangkan jalan darah yang kaku bertumpuk karena duduk. Menghirup udara senja yang mulai melenyap, sedikit sisa kesegaran masuk ke rongga sadarku. Sudah waktunya pulang.
Dari arah barat, gerbong besi mulai terlihat terus membesar. Dan kau tetap tenggelam di Italia selatan. Serius sekali. Pernah sekali membaca novel itu. Bukan bacaan yang enak disantap di stasiun kereta, kurasa.
“Kau terlalu tua di balik tubuh yang muda. Lebih suram dari kereta senja yang kau dengar,” katamu pelan.