Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiga Peringatan Diri dari Film Victor Frankeinstein

7 Maret 2016   11:40 Diperbarui: 8 Maret 2016   07:29 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah berharap terbangun dan mendapati situasi berikut:

Ketika berdiri di depan teras, langit sudah sobek, gunung luruh, pepohonan terbenam ke dalam tanah. Alam tak lagi ada. Yang tersisa manusia. Bukan karena kiamat. Tapi tetiba saja semua kembali ke titik hanya ada manusia. Jalan-jalan raya musnah dari atas tanah. Gedung-gedung besar tanda dari kehadiran politik dan ekonomi pun tak lagi bernafas. Kendaraan-kendaraan yang hilir mudik berhenti semua. Tak ada yang bergerak, tak ada dinamika, tak ada daya manusia. Bahkan matahari, bulan, bintang juga pergi entah kemana. Cakrawala tak lagi memiliki senja dan purnama.

Ketika masuk ke dalam rumah, benda-benda juga menjadi barang asing. Meja, kursi, piring, sendok, televisi, PC, televisi, gadget, semuanya menjadi benda yang tak pernah saya ketahui apa fungsinya dalam hidup manusia. Saya melihat jam, jarumnya berhenti. Angka-angka di dalamnya ikut tak berdetak. Tak ada tik tak tik tak, tidak menyampaikan apa pun. Waktu tidak lagi memiliki daya disiplin dan pengingatnya.

Dunia menjadi chaos. Chaos yang total. 

Tinggal saya dan keruntuhan segala rupa pengertian yang selama ini dibentuk secara sosial juga historis. Tersisa saya dan kehancuran pegangan dan rasa percaya bahwa saya ada dan mengendalikan hidup sendiri.

Harap yang aneh seperti ini kembali muncul karena dua stimulan. Pertama, sesudah menonton film Victor Frankenstein dan kedua, menyimak (lagi) kuliah-kuliah filsafat Romo Setyo Wibowo. Tapi, kali ini, semoga harap aneh itu sudah menemukan jawabannya. Paling kurang untuk sementara.

Jadi, bila sudi terus lanjutkan membaca, mari sama-sama kita lihat pesan dari film Frankenstein dengan situasi kekinian manusia.

Kehendak Menjadi Tuhan dalam Narasi Pemberontakan Gagal Frankeinstein 

Victor Frankenstein (2015) adalah film yang menunjukan usaha manusia menantang takdir kematian, menantang ketiadaan. Jika dilihat dari sudut pandang Albert Camus, kematian adalah satu-satunya yang pasti, bukan hidup sesungguh apapun manusia berjuang terhadapnya. Sebab itu, hidup adalah peristiwa yang absurd. Victor Frankenstein boleh juga dibaca sebagai film yang menceritakan usaha membalik tesis Camus tersebut. [Untuk membaca sinopsis film ini, silahkan ke sini]

Dalam satu penggal dialognya, Victor berkata jika hidup itu sementara, mengapa tidak dengan kematian?

Mengapa kita tidak membuat kematian menjadi sementara, seolah sebuah jeda dalam perjalanan hidup saja? Kalau kematian boleh serupa jeda saja maka para leluhur yang telah pergi itu bisa dihidupkan kembali pada hari ini. Sehingga saya bisa tahu sesungguhkan DNA diri berasal dari penduduk awal penghuni Nusantara atau DNA pengelana yang datang dari negeri yag jauh?

Atau, kalau kematian bisa dibikin sementara saja, Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka bisa hidup lagi dan berkiprah di barisan depan dinamika politik? Mereka membuat generasi politisi hari ini tahu diri jika politik hari ini sarat dihidupi dari pikiran-pikiran sempit miskin visi lemah karakter tapi sangat ambisius dalam perebutan kekuasaan?

Saya kira pertanyaan ini bukan sekedar ungkapan khayal-imajiner si penulis naskah film. Pertanyaan ini selalu faktual, bukan saja logis. Logis dan faktual, jangan dulu campurkan dengan kontradiksi etis pun moral.

Mari kembali pada pertanyaan: kalau kehidupan sementara, mengapa kematian tidak bisa dibuat sama hukumnya?

Dalam film tersebut, Victor dan Igor, pemuda cerdas yang sempat terbuang dalam kehidupan sirkus, berhasil menghidupkan simpanse. Keberhasilan ini hanyalah permulaan, pintu masuk untuk kehendak yang lebih “gila” lagi. Rasa ingin tahu dalam skalanya yang luar biasa membawa Victor pada ujicoba menghidupkan manusia. Victor ini mengambil tahta Tuhan.

Secara simbolik, ia menyebut manusia ciptaannya sebagai Prometheus. Prometehus adalah dewa yang mencuri api Zeus dan memberikannya pada manusia. Api adalah tanda pencerahan, pengetahuan yang benar. Karena itu yang dilakukan Prometehus adalah emansipasi manusia dari kebodohan dan “kuasa langit istana Zeus”. Prometheus kemudian menjalani hukuman hatinya yang selalu dipatuki burung gagak setiap hari namun hatinya terus tumbuh.

Prometheus ciptaan Victor berbadan besar dengan dua jantung dan hati. Jadi dua kali lipatnya manusia. Dengan intervensi teknologi yang mengonversi listrik dari petir, manusia ciptaan manusia ini bisa hidup. Sayang disayang, Prometheus tidak bisa dikendalikan. Manusia ciptaan ini menjadi penghancur yang liar seperti petir yang mengamuk.

Victor dan Igor pun harus membunuh ciptaan mereka sendiri. Victor tidak pernah bisa menjadi tuhan yang baru. Ia gagal menentang kuasa penciptaan. Ia bisa melahirkan jasad tapi tidak bisa menciptakan akal dan rasa pada Promethus.

Silahkan dinonton sendiri film Victor Frankeinsten bila penasaran.

Tiga Peringatan

Saya memperoleh tiga peringatan sesudah menonton film bagus ini. Peringatan tentang pergulatan manusia dalam kekinian ruang dan waktu. 

Pertama, tidakkah dalam hidup hari ini, rasa ingin tahu dan keseriusan yang gila seperti Victor, memang ada dan sedang melaksanakan eksperimennya di ruang dingin laboratorium? Mungkin saja begitu karena penciptaan progresif robot yang bisa menjadi pelayan (bahkan untuk urusan seksual) dan sebagai pasukan perang itu sebuah tahap antara sebelum kulit dan isinya dari kabel dan rakitan komponen elektrik lalu berganti daging hati dan jantung?

Sains dan teknologi telah menghadirkan mekanisasi pada ekonomi dan perang. Jika pada mulanya, ini bermaksud mengurangi keterlibatan tenaga manusia dengan mesin, apakah tidak mungkin proses demikian akan terus masuk pada wilayah "menciptakan manusia?"

Kedua, kisah kegagalan menjadi tuhan gaya Victor Frankenstein ini membawa pikiran membayangkan dunia yang chaos, realitas yang belum bermakna. Sebuah dunia yang memaksa manusia untuk mempelajari lagi apa itu dirinya dan alam raya dari awal. Belajar seperti bayi, yang mengeja dan terdengar tidak jelas maksudnya.

Kisah Prometheus buatan Frankeistein membawa pesan chaotik yang sama. Dalam batas tertentu ini juga menghajar keyakinan subyek rasional dalam filsafat pencerahan yang dingin dan menyembah saintisme. Filsafat pencerahan hanya menemukan dasar moral-filosofis dari kehadrian manusia yang dijuduli dengan klaim-klaim agung: rasional, progres dan kritis. Manusia bisa menjadi tuan atas sejarahnya sendiri, Sapere Aude!

Frankenstein yang percaya pada saintisme sejenis bergerak lebih jauh. Ia tidak mencari dasar moral-filosofis, ia justru menciptakan manusia. Di tangannya, rasionalisme bukan saja syarat pembeda dan daya kreatif yang memungkinkan manusia menciptakan kebudayaan dan peradaban besar.Penjelasan atau keyakinan begini tidak membuat Tuhan sepenuhnya dibuang.

Di tangannya, rasionalisme adalah cara untuk menciptakan manusia tanpa intervensi total dari Tuhan. Di imajinasinya, manusia adalah dalang sekaligus wayang. Narasi Frankeistein hanya berujung kegagalan. Ia tidak bisa menciptakan dunia baru yang menjadi chaos pada tatanan kosmis ciptaan Tuhan. Ia baru sampai menghadirkan chaos kecil yang balik menghantamnya.

Ketiga, kisah Frankenstein adalah juga cemooh bagi manusia yang merasa telah memegang kebenaran hakiki lantas berusaha menentang keberadaan alam dan kuasa penciptaan. Peringatan ini rasanya juga abadi.

Hari-hari ini, kita tidak perlu menjadi Frankenstein baru untuk kurang ajar kepada alam atau kuasa Penciptaan. Kita berdebat sudut pandang bukan untuk mencari pengertian yang sesuai atas kenyataan tapi lebih sebagai adu benar milik siapa. Seolah saja kita memahami betul realitas yang bergerak di depan mata. Kita juga membangun kota dan desa bukan untuk melayani kebutuhan tapi juga memperkosa alam untuk menampung keinginan dan kerakusan tiada batas.

Dengan bahasa lain, kita sedang mempertontan diri sebagai tuhan. Kita adalah spirit Victor Frankeinstein dengan cara dan zaman berbeda saja.

Huuuuft. Tiga peringatan yang sangat serius buat saya. Seketika menjadi ingat lagi pesan: di hadapan kebenaran, milikilah sopan santun! [Nietzsche]

Sesudah menonton Frankeinstein, saya tahu harap seperti pembuka di atas itu sebaiknya tidak pernah terjadi. Kalau pun terjadi, saat itu memang sudah kiamat. Semua musnah tak bersisa agar tak ada lagi pesan peringatan yang bikin gentar.

Selamat makan siang, salam!

***

*). Terimakasih Frankeinsten, Nietzsche dan Romo Setyo Wibowo. Anda sekalian membuat saya berhenti ceriwis lagi berisik di era digital. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun