[caption caption="Nenek memancing/ dok.pri"][/caption]
Sejak bekerja menjadi beban, hari Senin adalah kutukan.
Begitulah suasana hati manusia yang hidup sesudah Aufklarung dilahirkan dan ekonomi pertumbuhan menjadi mimpi yang kembang kempis sembari terus saja ditafsiri kesana-kesini. Manusia menjadi budak waktu, lebih-lebih dalam sistem industrial. Tapi, seberapa banyak manusia "penanggung kutukan" yang bertanya, pernahkah Immanuel Kant dan Adam Smith merenungkan hari Senin?
Ada? Tidak ada, bukan? Kalau begitu, kita lanjutkan.
Ketika manusia menjadi budak waktu, memikirkan hari senin adalah mengutak-atik kalender.
Pada penanggalan berwarna hitam, dunia sehari-hari manusia dewasa menjadi kaku, lurus dan berat, seperti kereta api ke stasiun yang sama lewat rute yang itu-itu juga. Warna merah dalam penanggalan selalu dipandang-pandang, dikenang-kenang, dan didoa-doakan: makin banyak warna merah, makin bagus. Jadi pada yang hitam, Senin adalah permulaan dari ritus kutukan, pada yang merah, ritus penyembuhannya.
Nah, kira-kira, apa hubungannya dengan warna bendera Indonesia tercinta?
Hmmhm, apakah Ibu Fatmawati juga melihat hubungan yang hitam dan merah dalam pergolakan kutukan dan penyembuhan seperti dalam kalender pada sejarah pemerdekaan negeri? Oh tidak, ini terlalu liar, spekulasi yang liar. Terlarang untuk dilanjutkan. Lagi pula, banyak kalender memberi tanggal kerja dengan warna biru, bukan semata hitam.
Oke. Oke.
Ada banyak kalender berwarna biru, tapi seberapa banyak kalender yang hari liburnya berwarna bukan merah? Di Eropa? Afrika? Australia?
Yang jelas, di Indonesia, belum pernah ada kode hari libur di kalender yang berwarna ungu apalagi pink. Warnanya selalu merah. Merah berarti berani, putih nan suci, bukan? Manusia industrial memang harus berani demi bisa menikmati libur, dengan begitu membebaskan diri dari kutukan hari Senin. Ini sudah hukum. Kalau tidak berani, di tanggal merah yang cuma tiga hari kejepit, televisi tidak akan menulis berita macet panjang menuju puncak. Semua manusia bertanggal merah di kamar masing-masing, lantas televisi mana yang mau menulis cerita hari libur dari tempat tidur ke kamar mandi?
Jadi hitam dan merah pada kalender dalam sistem kerja industrial yang membuat bekerja sebagai beban itulah sumber kutukannya. Dan selama para penguasa dan calon penguasa negeri masih mengamini Francis Fukuyama dengan the End of History and the Last Man-nya, maka percayalah kutukan hari Senin tidak pernah berakhir!
Lah, terus? Apa guna menulis soal hari senin, tanggal merah dan hitam pada kalender, waktu industrial hingga menyebut kutukan dan penyembuhan, bukan pembebasan, kalau pada dasarnya para penguasa telah memiliki otak yang dikloning dari satu sumber yang sama?
Tidak ada sih. Cuma sekedar sebar cerita kalau barusan tadi siang, ketemu nenek dengan jorang pancing dan umpan cacing duduk di pinggir rumah panggung. Bibirnya merah sebab keseringan menginang dan kulitnya hitam karena sering berjemur di ladang padinya yang kini menunggu diketam. Pada nenek ini, kalender di dinding kamarmu adalah sejarah hidup sehari-harinya.
Dengan sarung lusuh, ia duduk menunggu jorannnya disambar ikan sungai. Seorang diri menikmati detik-detik yang melambat pelan menuju sore tiba. Di hari Senin.
Jadi saya mendekat, lalu melakukan wawancara. Berikut cuplikannya.
T : “Nek, dapat ikan apa saja?”
N: “Tuh, dapat Bawung, ada Lais, ada juga ikan Buntal.” (sambil menunjuk ember kecil di sampingnya)
[diam sebentar...mencari kata-kata...]
T: “ Neek, hari ini, hari apa?”
N: “Entahlah...kenapa?”
T:” Kalau tanggal, tanggal berapa Nek?”
N :” Tidak tahu juga.”
[diam...]
N: “Kamu kenapa nanya-nanya tanggal, nanya hari. Kan yang sekolah kamu, masa tak tahu tanggal, hari tak ingat?”
T:”Uuuupppssssss......( *&%^$#, tetiba ekspresi wajah kaku, hati kelu, duuh)
Kesimpulan sementaranya dari wawancara berakhir kaku nan kelu ini :
dari putar-putir kesana kesini tentang kerja sebagai beban, sistem industrial, kutukan dan penyembuhan, kerja dan libur, dan bunga-bunganya itu, tanggal pada kalender terlihat merah dan hitam dimulai ketika kita makan bangku sekolah.
Merah dan hitam serta hari Senin itu menjadi makin kaku ketika pertama kali berjumpa yang namanya upacara bendera. Dan hari senin makin seram seolah kutukan manakala terlibat sebagai petugas upacara bendera, seperti pengalaman salah satu K’ers yang sebaiknya tidak dituturkan lagi di sini. Hak hak hak.
Upacara bendera di hari Senin adalah kegembiraan bagi mereka yang berjiwa Paskibra. Yang berjiwa pemain bola, itu malapetaka. Apalagi bagi mereka yang main berbie. Mungkin karena itu juga, loyalitas-dedikasi setangguh tentara dibutuhkan dalam bekerja. Sekali pun kaku, di setiap pergantian satu senin ke senin berikutnya, mereka selalu bersedia tampil dengan kestabilan energi yang sama.
Bahkan ketika situasi mendesak, tanggal merah tetiba berubah hitam, hanya tentara yang paling siap hadir di depan. Mungkin karena itu juga, banyak anak gadis di desa lebih percaya masa depannya pada lekaki berseragam : seragam tentara dan seragam pns.
So, apa hubungan strategis antara ekonomi kapitalisme dan kepemimpinan militer?
Hadooh, saya lupa menanyakan ke Nenek itu.
Pamit dulu. Selamat hari Senin!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H