Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ancaman, Kecemasan dan Sedikit Catatan

27 Januari 2016   09:38 Diperbarui: 27 Januari 2016   12:41 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini hanya sekedar catatan kecil tentang “ancaman”.

Bagi beberapa orang, sesudah membaca artikel Mas Susy Haryawan, apa yang dibahasnya itu mungkin perkara sepele, tidak perlu over-acting menanggapinya. Dan juga kalau kita baca dinamika tanggapan di obrolan tulisan itu, tampaknya ihwal ancaman pembajakan itu tidak perlu diperbesarluaskan-kali-tinggi lagi (?). Tapi biarkanlah saya melihat-tuliskan itu sebagai sesuatu pengalaman faktual untuk dikenang-kenangkan. Saya tidak bicara benar tidaknya, ada tidaknya ancaman. Saya bicara ancaman sebagai sebuah pengalaman psikis! [cieeeh, berdampak dalam nih yeee..]

Kebetulan akun saya juga adalah subyek yang terlibat dalam grup tersebut. Sebelum ada “ancaman pembajakan akun”, grup itu hanyalah ruang bercakap-cakap, kadang serius, lebih banyak ringan. Dan ketika nada ancaman itu datang, tiba-tiba saja suasana ringan itu terguncang, aroma cemas tetiba menyergap, haaap, seperti nyamuk yang asik kawin ditelan cicak!

Saya salah satunya yang tersergap kecemasan yang tiba-tiba. Dan langsung saja menge-klik : keluar dari obrolan? *apakah Anda yakin* Okee, yakin bangeet! Lalu : Oke. Saya merasa ketenangan dan kenyamanan itu terusik, artinya ancaman itu efektif meneror sisi paling dalam : kecemasan diri.

Mengapa saya cemas?

Setiap kita tidak memiliki rasa cemas yang sama dalam satu suasana terancam. Pada kasus “ancaman pembajakan akun”, saya bukan takut data pribadi diambil (emang mau ngambil apa juga?) atau takut karena keamanan Kompasiana yang rapuh dan membuat aksi-aksi pembajakan bisa leluasa menciptakan chaos bahkan collapse sistemik. Tidak, mula-mula pembangkit rasa cemas karena saya berhadapan dengan KETIDAKTAHUAN!

Ketidaktahuan yang saya maksudkan bukan berarti memandang remeh kemungkinan data pribadi dicuri, tulisan dihapus semua, atau akun digunakan untuk mempublis sesuatu yang menghancurkan nama baik misalnya. Juga tidak berarti saya memandang sebelah mata, jika benar itu pembajakan, bahwa sistem Kompasiana yang menjadi rumah besar banyak sudut pandang dan karya ini memiliki bolong serius.

Ketidaktahuan yang saya maksudkan adalah sebagai berikut :

Pertama, secara teknis IT, karena saya buta, ancaman tersebut segera saja melempar saya ke dalam semesta yang asing, melongsorkan rasa percaya, menghancurkan suasana nyaman dan aman yang terbentuk dalam rangkaian percakapan sebelumnya. Saya merasa ada bahaya yang juga ikut menyergap diam-diam, seperti berada dalam situasi chaos kerusuhan, tidak bisa membedakan mana yang kawan, mana yang ancaman.

Kedua,ketidaktahuan atas seluk beluk IT yang melempar saya dalam semesta yang asing itu juga secara efektif mematikan sikap kritis. Saya jadi kehilangan kemampuan berjarak dan memeriksa secara proporsional hal-hal tidak logis dari benar tidaknya ancaman tersebut. Matinya sikap kritis ini juga merawat “penjara kecemasan” yang makin kokoh menghujam ke dasar psikis.

Saya telah kalah berhadapan dengan ancaman. Saya hanyut dalam rasa cemas yang memang menjadi target dari ancaman.

Saya jadi teringat sebuah teks filsafat dari Elias Canetti yang mengingatkan jika rasa cemas-terancam mudah bersemi ketika berhadapan sesuatu yang lain, Liyan (the Other), yang asing, tak terfahami. Bedanya, dalam pengalaman Canetti yang menjadi korban totalitarianisme Nazi itu, sang Liyan itu ditafsirkan oleh kuasa politik tertentu sebagai ancaman yang wajib dihancurkan. Tafsir sebagai ancaman ini dirawat oleh satu propaganda politik-rasistik yang dibalik itu semua sedang merawat jiwa-jiwa subhuman lantas memindahkannya ke dalam kerumunan massa. Jadi sang Liyan disini ancaman yang ditafsirkan dan dipelihara dalam propaganda politik yang rasis.

Saya tentu tidak dalam pengalaman sejenis dengan Canetti, mungkin malah terbalik. Rasa terancam saya makin menjadi liar karena sesuatu yang asing (konsekuensi ketidaktahuan) yang menyerang, merontokkan segala bentuk-bentuk pemaknaan (deformasi makna) yang di acu selama ini. Ia membuat saya menjadi nol besar dan tidak berdaya! Jadi dalam kasus saya, kesadaran yang tidaktahulah yang "menafsir" adanya ancaman.

Ketidaktahuan, perasaan asing, rusaknya kenyamanan dan keamanan, lalu tumbuhnya tafsir lekas-bulat bahwa ada ancaman pembajakan inilah yang merongrong rasa cemas itu, memaksanya menyeruak, dan tertawa tebahak-bahak. Ia membuat saya menarik diri (log out) dan mengencangkan sikap paranoid; membuat saya bersemayam dalam sikap aprioristik.

Bagaimana log-out dari kecemasan karena ancaman?

Sesudah tetiba terbenam dalam kecemasan berhadapan dengan ketidaktahuan dan rasa asing, bersyukur pada jam-jam ancaman itu hadir, masih ada teman-teman K’ers yang tetap berhasil menjaga sikap kritisnya, tetap mengajak melihat dan mendiskusikan detail, pola, dan memeriksa motif-motif psikis yang mungkin terselip di baliknya. Ada juga yang segera menghubungi pihak berwenang (admins) untuk melaporkan situasi dan mengambil tindakan segera : menenangkan situasi.

Jadi saya tidak melarikan rasa cemas tadi ke dalam diri sendiri lantas membiar remuk redam diinjak-injaknya. Saya hanya keluar dari situasi asing tadi dan berpindah pada ruang percakapan dimana masih terjaga sikap-sikap merawat—dalam bahasa Descartes—sejenis “kesangsian methodis”. Kesangsian methodis itu sederhananya periksa lagi semua secara menyeluruh, lihat bagian besar, masuk ke bagian kecil, kembali dari awal dan mulai dari belakang. Periksa satu-satu dan jangan terburu-buru berikan “makna” padanya. [Why So Serious? *pengen kepruk Joker!*]

Keep Calm and Stay Focus!

Kata kuncinya adalah membawa diri ke dalam kebersamaan yang mendialogkan ancaman dengan menimbang berbagai sudut pandang sembari menunjukkan kemungkinan jika ancaman itu sesuatu yang bisa dimaknai, bukan lagi asing. Kebersamaan dalam dialog inilah yang perlahan-lahan menarik kembali “sikap kritis” dan menendang keluar rasa cemas dalam diri saya.

Singkat catatan, saya jadi merasakan kembali kecemasan yang diproduksi dalam ketidaktahuan dan perjumpaan dengan yang asing, Liyan dalam ruang digital, dalam bersosial media dan juga jadi percaya bahwa menghadapi ancaman, kita harus bersama-sama menjaga sikap kritis : memberi jarak dan memeriksa kembali. Menjaga sikap kritis secara bersama-sama dibutuhkan ketika pihak berwenang belum bertindak karena barangkali masih harus mempelajari situasi secara cermat dan tepat serta tidak terburu-buru.

Saya tidak sedang mencari siapa kambing hitam, coklat, putih, atau kambing pelangi atau kambing-kambing yang lain yang sedang bekerja di balik situasi ini. Yang saya butuhkan, sebagai sesama warga yang berusaha merawat waras dan berbagi gembira dalam interaksi tulisan, kita memang harus saling menjaga bukan? Tetap setia sharing and connecting masBro MbakSis!

Setiap kita memiliki kadar cemas atau takut sendiri-sendiri. Pengalaman menghadapinya pun berbeda makna. Tapi, kiranya almarhum Munir benar : yang harus kita takuti adalah rasa takut itu sendiri.

Sudah, itu saja. Terimakasih Gerilyawan Gocap!

Selamat pagii, Salam.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun