Saya jadi teringat sebuah teks filsafat dari Elias Canetti yang mengingatkan jika rasa cemas-terancam mudah bersemi ketika berhadapan sesuatu yang lain, Liyan (the Other), yang asing, tak terfahami. Bedanya, dalam pengalaman Canetti yang menjadi korban totalitarianisme Nazi itu, sang Liyan itu ditafsirkan oleh kuasa politik tertentu sebagai ancaman yang wajib dihancurkan. Tafsir sebagai ancaman ini dirawat oleh satu propaganda politik-rasistik yang dibalik itu semua sedang merawat jiwa-jiwa subhuman lantas memindahkannya ke dalam kerumunan massa. Jadi sang Liyan disini ancaman yang ditafsirkan dan dipelihara dalam propaganda politik yang rasis.
Saya tentu tidak dalam pengalaman sejenis dengan Canetti, mungkin malah terbalik. Rasa terancam saya makin menjadi liar karena sesuatu yang asing (konsekuensi ketidaktahuan) yang menyerang, merontokkan segala bentuk-bentuk pemaknaan (deformasi makna) yang di acu selama ini. Ia membuat saya menjadi nol besar dan tidak berdaya! Jadi dalam kasus saya, kesadaran yang tidaktahulah yang "menafsir" adanya ancaman.
Ketidaktahuan, perasaan asing, rusaknya kenyamanan dan keamanan, lalu tumbuhnya tafsir lekas-bulat bahwa ada ancaman pembajakan inilah yang merongrong rasa cemas itu, memaksanya menyeruak, dan tertawa tebahak-bahak. Ia membuat saya menarik diri (log out) dan mengencangkan sikap paranoid; membuat saya bersemayam dalam sikap aprioristik.
Bagaimana log-out dari kecemasan karena ancaman?
Sesudah tetiba terbenam dalam kecemasan berhadapan dengan ketidaktahuan dan rasa asing, bersyukur pada jam-jam ancaman itu hadir, masih ada teman-teman K’ers yang tetap berhasil menjaga sikap kritisnya, tetap mengajak melihat dan mendiskusikan detail, pola, dan memeriksa motif-motif psikis yang mungkin terselip di baliknya. Ada juga yang segera menghubungi pihak berwenang (admins) untuk melaporkan situasi dan mengambil tindakan segera : menenangkan situasi.
Jadi saya tidak melarikan rasa cemas tadi ke dalam diri sendiri lantas membiar remuk redam diinjak-injaknya. Saya hanya keluar dari situasi asing tadi dan berpindah pada ruang percakapan dimana masih terjaga sikap-sikap merawat—dalam bahasa Descartes—sejenis “kesangsian methodis”. Kesangsian methodis itu sederhananya periksa lagi semua secara menyeluruh, lihat bagian besar, masuk ke bagian kecil, kembali dari awal dan mulai dari belakang. Periksa satu-satu dan jangan terburu-buru berikan “makna” padanya. [Why So Serious? *pengen kepruk Joker!*]
Keep Calm and Stay Focus!
Kata kuncinya adalah membawa diri ke dalam kebersamaan yang mendialogkan ancaman dengan menimbang berbagai sudut pandang sembari menunjukkan kemungkinan jika ancaman itu sesuatu yang bisa dimaknai, bukan lagi asing. Kebersamaan dalam dialog inilah yang perlahan-lahan menarik kembali “sikap kritis” dan menendang keluar rasa cemas dalam diri saya.
Singkat catatan, saya jadi merasakan kembali kecemasan yang diproduksi dalam ketidaktahuan dan perjumpaan dengan yang asing, Liyan dalam ruang digital, dalam bersosial media dan juga jadi percaya bahwa menghadapi ancaman, kita harus bersama-sama menjaga sikap kritis : memberi jarak dan memeriksa kembali. Menjaga sikap kritis secara bersama-sama dibutuhkan ketika pihak berwenang belum bertindak karena barangkali masih harus mempelajari situasi secara cermat dan tepat serta tidak terburu-buru.
Saya tidak sedang mencari siapa kambing hitam, coklat, putih, atau kambing pelangi atau kambing-kambing yang lain yang sedang bekerja di balik situasi ini. Yang saya butuhkan, sebagai sesama warga yang berusaha merawat waras dan berbagi gembira dalam interaksi tulisan, kita memang harus saling menjaga bukan? Tetap setia sharing and connecting masBro MbakSis!
Setiap kita memiliki kadar cemas atau takut sendiri-sendiri. Pengalaman menghadapinya pun berbeda makna. Tapi, kiranya almarhum Munir benar : yang harus kita takuti adalah rasa takut itu sendiri.