Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat "Bahasa Appeal" dalam Fiksi DesoL

10 Januari 2016   14:52 Diperbarui: 10 Januari 2016   22:48 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelumnya saya sudah mencoba menunjukkan salah satu model bertutur deskriptif dimana pembaca dibawa ke dalam satu pelukisan cerita yang memikat dan “dibuat” merenung dan menimbang dalam cerpen yang dibuat oleh K’ers Sarwo Prasojo yang berjudul 1 Januari dan Satu Cerita Tersisa di tulisan Mengenali "Dua Bahasa" dalam Cerpen. Kali ini saya hendak mencoba melihat penggunaan model bertutur instruksi (appeal/appel) juga dalam cerpen.

Ada baiknya sebelum jauh menyusun kalimat, beberapa pokok pengertian tentang model bertutur instruksi dalam cerpen digambarkan lagi. Tentulah pengertian terbatas ini mengacu pada endapan bacaan subyektif terhadap tafsir Ignas Kleden atas karya cerpen dan novel Putu Wijaya.

Pertama, bahasa instruksi memeriksa kembali nilai, norma dan pengetahuan atau sistem budaya yang terlanjur mapan di dalam masyarakat. Salah satunya dengan “menabrak yang dipandang tabu” atau “terlanjur beku dan kaku”. Dalam bahasa Ignas Kleden : apa yang dinamakan benar atau salah (dalam artian right or wrong) dibolak-balik dan dijungkir-balikkan secara kocak, nakal dan tegar (hal 3).

Kedua, cara seperti ini juga menyukai sejenis narasi petualangan dan penyelidikan. Akan tetapi bukan petualangan pada rimba liar atau negeri-negeri asing, bukan petualangan dalam dunia sosial atau historis. Petualangan dimaksud—sebagaimana bahasa Ignas Kleden--adalah petualangan dalam jiwa, dalam pikiran, dalam perasaan, dalam angan, dalam sensasi manusia. Demikian pun pikiran dan perasaan seseorang dicoba disingkapkan dengan cara yang penuh rahasia dengan memelihara momentum ketak-terdugaan (hal 5).

Ketiga, dalam kasus cerpen/novel Putu Wijaya, Ignas Kleden katakan, bahasa instruksi sangat hemat dengan kalimat-kalimat majemuk dengan banyak klausul atau anak kalimat. Sebuah instruksi memang harus memberikan amanat yang jelas dan tidak mengundang salah tafsir. Dengan kata lain, kalimatnya efisien dan efektif (hal 14).

Sebenarnya jika membaca langsung tafsiran lengkap Ignas Kleden dalam naskah berjudul Konstruksi Sosial ala Putu Wijaya itu, gambaran akan bahasa instruksi lebih lengkap dibaca karena ia menyajikannya sembari mengulas cerpen atau novel. Namun untuk kebutuhan terbatas ini, saya meringkas saja pengertian bahasa instruksi ke dalam tiga jenis yang dianggap mewakili. Semoga saja tiga pengertian ini boleh menjadi pegangan untuk mengenali apa yang dimaksud dengan bahasa instruksi atau appeal dalam bercerpen.

Selanjutnya saya akan coba menggunakannya dalam melihat beberapa cerpen DesoL, yang menyebut jenis fiksinya sebagai Fiksi Mati.

Saya tidak mengambil seluruh cerpen DesoL, beberapa saja yang dirasakan boleh menjadi bahan baku untuk melihat model bahasa instruksi ini. Dari 136 postingannya, saya hanya akan mengambil tiga saja, yakni, Cangkir yang Indah, Pembunuh Ibuku, dan Aku dan Zainal sebagai sample.

Cangkir yang Indah. Cerpen ini juga postingan pertama K'ers yang tahun kemarin bikin ramai kanal Fiksiana dengan aksi berbalas fiksi itu. Inti ide dari ceritanya tentang perempuan korban pemerkosaan yang membunuh pemerkosanya. Tidak terlalu banyak deskripsi tentang bagaimana asal mula perkosaan itu sampai terjadi. Pun juga tidak terlukis bagaimana detik-detik perkosaan itu berlangsung. Pada cerpen ini adalah DesoL menghadirkan sebuah dialog moral dalam subyektifitas perempuan yang diperkosa itu. Dialog moral yang mengambil kisah penciptaan manusia oleh Tuhan yang disimbolisasikannya dalam pesan Ibu yang seolah sengaja dikirim dari surga. Manusia adalah tanah yang dipoles Tuhan menjadi sebuah cangkir indah (baca : sebaik-baiknya penciptaan). Namun cangkir itu harus rusak oleh ulah manusia (: diperkosa) atau ulah dirinya sendiri (: menuruti murka amarah sebagai korban perkosaan). Perempuan korban perkosaan itu bersibuk diri dengan dialog moral dalam dirinya sendiri, apakah harus membunuh atau menuruti pesan ibu tentang penciptaan manusia oleh Tuhan.

Pembunuh Ibuku. Inti ceritanya adalah seorang anak perempuan yang dalam gilanya, ia membunuh ibunya sendiri. Anak perempuan itu seperti memiliki dua karakter yang tumbuh, sebagai manusia yang mengalami kenyataan secara normal (memiliki pacar polisi dan juga pengguna kartu kredit) sekaligus dunia halusinatif, ketika membunuh ibunya, ia merasa sedang menikam daging ayam berkali-kali. Kehadiran aparatur hukum (polisi) yang juga melambangan tatanan moral dan tertib sosial tidak terlalu dijadikan poros konflik. Tidak ada dialog moral yang spesifik seperti halnya yang pertama, Pembunuh Ibuku lebih kepada usaha pengarang merawat misteri dan ketakterdugaan kepada pembaca, tentu dengan kadar sadisme yang sangat terasa.

Aku dan Zainal. Inti ceritanya adalah ibu dan anak yang hidup di jalanan dari mengais sisa-sisa makanan pada sebuah kota. Kemiskinan telah membuat mereka bertahan melewati kepedihan harian yang berulang. Hingga Zainal harus dibela kematian karena arsenik dan kau dipilih kematian dengan hidup di balik jeruji. Tak menghadirkan haru biru yang terlalu, DesoL membuat Aku dan Zainal sebagai kisah survive manusia jalanan yang keras, getir tapi dingin. Kematian mudah datang dalam ketidaktahuan yang terbungkus dalam sikap keras hati untuk tetap bertahan hidup ketika kemiskinan itu terlanjur menjadi perisitiwa yang banal.

Begitulah tiga cerpen yang saya baca lagi pelan-pelan. Saya akan coba mengurai beberapa benang merah yang mengikat inti dari tiga cerita tersebut.

Pertama, tiga cerpen ini menggunakan sudut pandang orang pertama (sebagai aku adalah cara yang sering dipakai DesoL). Menggunakan sudut pandang aku jelas membawa pembacanya dalam petualangan di dalam diri manusia, tentang kegilaan, dendam, amuk murka, dan “perasaan-perasaan buruk” lainnya. Petualangan seperti ini menciptakan dialog diri dan tentang kemungkinan aku-aku memilih tindakan apa yang hendak dilakukan dalam situasi tertentu. Tidak ada benar dan salah disini atau mungkin juga benar dan salah dalam kesadaran subyek itu sesuatu yang sedang dihancurkan oleh kemungkinan bertindak yang berdiri di luar kategori benar salah itu.

Khusus pada Cangkir yang Indah, aku disana menolak semua anjuran moral tentang larangan membalas kejahatan dengan kejahatan sembari lebih menuruti kehendak dendamnya. Sementara pada Pembunuh Ibuku, aku adalah kehadiran subyek yang terbelah, subyek yang memiliki sadisme tersembunyi bercampur dengan halusinasi yang berbahaya sekaligus cinta luar biasa pada sosok Ibu. Sedang pada Aku dan Zainal, aku adalah subyek yang berusaha melawan kerasnya kota dengan naluri seperti kucing hingga mengakibatkan kematian anaknya tanpa dia sadari.

Kedua, benang merah itu adalah konstruksi sosok Ibu. Sosok Ibu, baik sebagai simbolisasi moral pun kasih sayang abadi, dihancurkan DesoL disini. Pada Cangkir yang Indah, pesan Ibu ditolaknya, pada Pembunuh Ibu, Ibu seolah kehadiran sosok yang "ambivalen", seolah benci tapi rindu pada sosok aku yang terbelah itu. Sementara pada Aku dan Zainal, ibu seolah kasih yang menjadi jahat dalam ketakberdayaan dan ketidaktahuan (memberikan arsenik yang disangka obat tidur).

Tidak ada simbol Ibu yang adiluhung dan citra sempurna dari kasih abadi yang biasa lazim dikonstruksi. Ibu ditangan DesoL menjadi retakan yang berupa banyak wajah. Konstruksi Ibu diberinya tanda tanya, pembaca dipaksa mundur lagi ke belakang, memeriksa lagi pengertian yang selama ini diadopsi.

Ketiga, susunan kalimat yang relatif pendek-pendek dan umumnya berkarakter aktif. Tidak terlalu banyak penggambaran yang meliuk-liuk, DesoL langsung mengajak pembaca ke dalam pusat masalah, isu utama dalam cerpen-cerpennya. Sesekali ia berusaha mencampur itu dengan ironi, seperti berburu sisa makanan dengan kucing atau menampilkan sadisme, menusuk daging berkali-kali. Pembaca didorongnya masuk ke sana lalu merasakan ironi dan sadisme itu bekerja menggerayangi suasana hati, diguncang.

Inilah tiga benang merah yang juga menurut saya seperti mewakili tiga pengertian cara bertutur instruksi yang dimaksud Ignas Kleden di atas. Cara tutur yang bisa kita ringkas sekali lagi : cara bertutur yang menyukai benturan atas kategori-kategori tentang yang baik-bagus-indah-bermoral, menyukai petualangan dalam diri manusia, melihat dinamika perasaan dan konflik yang menyertai, dan penggunaan kalimat yang langsung pada sasaran, tidak meliuk.

Model bahasa instruksi memang bisa mengguncang susunan psikis dan memaksa kita melihat lagi kategori-kategori biner (benar-salah, baik-buruk, hitam-putih) dalam sebuah cerita yang menawarkan petualangan-petualangan perasaan yang ganjil. Bahasa seperti ini kata Ignas Kleden ditujukan untuk menantang pembacanya, bukan mengajak larut dan merenung seperti bahasa deskripsi. Saya rasa itulah mengapa cita rasa cerpen DesoL sedikit berbeda, karena ia menantang!

Sudah dulu, sampai disini saja. Sekali lagi, ini sebuah ujicoba membaca sejenis penggunaan bahasa atau modus bertutur instruksi. Perlu disadari, ini bukan sebuah cara memberi bingkai pandang terhadap cerpen karya K'ers. Ini sekedar ujicoba saja, dan semoga usaha ini ada berguna.

Selamat sore, selamat menjemput Senin, Salam!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun