Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Doa di Atas Keramba

7 Januari 2016   18:12 Diperbarui: 8 Januari 2016   05:59 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kita di kelompok tiga sudah patungan, mau beli bibit yang baru lagi. Cemburu juga lihat ikan di kelompok satu dan dua yang ramai rebutan makan. Sempat juga hilang semangat tapi kami mau mencoba lagi. Hanya saja (pembelian bibit itu) lebih cepat lebih baik.” Jelas si Bapak kemudian.

“Iya Bah.” hanya itu jawab saya. saya tidak berada di tempat ketika anak-anak Nila dilepas dan juga tidak menemani mereka ketika kematian itu datang. Tambah lagi tidak menguasai analisis yang lebih baik tentang kualitas air, lengkaplah sudah keawaman saya.

Saya lalu naik ke rumah papan, si Bapak melanjutkan rencana mandinya. Hari mulai gelap.

“Apa kabar Bu, sehat-sehat saja kah?,” tanya saya ketika Ibu itu datang menghampiri beberapa saat kemudian.

“Iya, sehat-sehat saja. Duduk dululah.” Kata Ibu tersebut, lalu ke belakang. Tak lama kemudian, seteko sedang teh panas manis tersaji. Saya sendiri kini sibuk dengan cemas dan bayang-bayang kegagalan.

Yang pertama menyembul dalam kecemasan itu adalah perhitungan ekonomi. Tentang uang yang sudah dikeluarkan dan kerja yang sudah disumbangkan. Kedua tentang proses yang sudah dilewati untuk merumuskan rencana dan membangun kesepakatan dengan pihak ketiga (swasta) dalam program budidaya ikan Nila media keramba. Ketiga, bayangan kesulitan ekonomi yang masih terus mendera warga desa sejak zaman kayu berlalu jika usaha bersama yang baru dimulai ini gagal berantakan.

Budidaya Nila ini memang bukan jalan keluar utama dan bukan satu-satunya. Ia hanya sebuah jalan dari inisiatif sederhana yang dirumuskan warga desa yang memiliki harapan besar perbaikan kehidupan ekonomi mereka. Ini bukan harap yang harus ditanggapi air mata menderai-derai sebab di pelosok Indonesia yang luas ini, kondisi yang sama masih mudah ditemui. Ini lebih pada soal ada bersama mereka atau tidak, terlibat di dalam atau berjarak.

Malam terus menutup langit desa. Tak ada obrolan panjang dengan si Bapak yang saya panggil Abah. Ia harus pergi mencari udang untuk sekedar mengumpulkan rupiah setiap hari. Aktifitas yang sudah dijalani bahkan sejak zaman kayu masih mudah diburu.

Saya kemudian tertidur di ruang tamu rumah papan itu. Hawa dalam rumah terasa sumuk tanda akan datang hujan.

***
Pagi, pukul 06.10 WIB.

Di atas keramba, sudah ada si Bapak dan seseorang yang lebih muda sedikit. Mereka sedang memberi makan anak-anak Nila. Melihat saya datang, mereka lalu berdiri, yang lebih muda itu menjabat tangan dan tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun