Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] After The Fact

3 Januari 2016   12:09 Diperbarui: 3 Januari 2016   13:51 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mister John, John Perkins, saya seperti pernah mendengar nama Anda, saya lupa-lupa ingat. Tapi rasa-rasanya nama yang akrab?,” Ashari bersuara dengan bingung yang belum pergi.

Tetiba saja seluruh suasana kapal, manusia kafetaria, lagu balada Manado dan laut mengabur. Hilang. Musnah.

***

Ashari kaget, lekas duduk diantara tumpukan dokumen dan buku-buku, lalu menghapus jejak tetes air di pelupuk matanya. Ia menengadah, melihat plafon kamar kostnya, ada lingkaran coklat kecil di sana, bocor yang sudah lama. Tetes air hujan Januari 2016 membangunnya dari tidur sore. Di kalender, tanggal masih muda sekali, kiriman itu belum lagi datang dari ayahnya, seorang nelayan kecil di pulau Samate, Raja Ampat. Sarjana muda memang masih sering menetek ke rumah, kelulusannya seperti bayi yang terlahir kembali, belum mandiri. Karena itu Ashari lebih sering menghalau lapar harian dengan tidur sembari menganggur.

Ashari bergegas ke belakang, ke dapur dan mengambil baskom kecil untuk menampung tetesan air dari plafonnya. Ia senyum-senyum sendiri, barusan saja ia sedang dalam keseruan menyiapkan perjalanan dan berada di kafetaria kapal yang dihangati syair balada dari Manado dan berbincang dengan seorang pria Amerika yang ramah. Siapa tadi namanya ya? James? John? Joshua?

“Ah, saya terlalu berambisi sehingga keinginan di dunia nyata menjadi bertimbun di bawah sadar,” gumam Ashari. Ia baru bermimpi siang hari.

Ia lalu kembali ke kamar membawa baskom, ketika tiba di depan pintu, matanya membesar. Tercekat. Buku terjemahan berjudul After the Fact yang dibacanya sebelum tertidur itu telah tiada dari tempatnya.

Di atas tumpukan dokumen, kertas dan buku-buku itu yang menjadi kasurnya tadi, buku Pengakuan Bandit Ekonomi, dengan nama pengarangnya ditulis besar John Perkins, kini tergeletak dengan halaman terbuka disana.

Di kamar kos sebelah, Halid, kawan sekampung yang masih sibuk sama skripsi akhirnya di Fakultas Teknik, memutar lagu milik Iwan Fals yang menyertai rinai hujan bulan Januari. Hanya mereka berdua yang tersisa di kos menunggu penghujung libur Natal dan Tahun Baru berlalu.

Garuda bukan burung perkutut, Sang Saka bukan sandang pembalut..

 

[Kotawaringin Timur, Kalteng, Januari 2016]

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun