Sumber: Kompas Cetak
Malam takbiran.
Seorang bocah, dengan tergopoh-gopoh, mencari ayahnya.
“Ayah, ayah...baju koko sama kopiah dede dimana?”
Ayahnya diam saja, sedang sibuk dengan peralatan pancingnya.
“Ayah, dede mau ikut takbiran. Baju koko sama kopiah dede dimana ayah ?”, bertanya lagi ia pada ayahnya, yang matanya sedang memisah batu dan kutu dari dalam beras.
“Ayaaah..,”memanggil ia dengan gelisah. “Baju koko sama kopiah dede dimana ?”, bertanya lagi ia, sudah dengan gelembung air di kornea matanya.
Ayahnya, terus sibuk memasang kail ke ujung benang nilon. Datang ia menghampiri ayahnya, berdiri menunggu jawab.
“Dede, baju koko dan kopiahmu sudah ayah tukarkan kail dan benang nilon. Beras kita sudah tinggal segelas, kita harus mencari ikan, buat beli beras dan garam Nak”, jawab ayahnya dengan tenang.
“Tapi besok kan lebaran, teman-teman dede juga liburan, tidak ada yang sekolah. Kenapa kita tidak liburan Ayah ?”, tanya bocah itu.
“Karena besok kita tidak cukup hanya berharap pembagian hewan kurban”, jawab ayahnya, lalu sibuk dengan alat pancing. Bocah itu diam saja. Matanya hanya basah tanpa suara tangis.
Diamnya mungkin adalah usaha untuk ikut memikul susah ayahnya. Mereka berdua terus sibuk dengan pancingnya.
Sayup-sayup, dari sebuah radio tua di pos ronda desa, terdengar Sitor Situmorang membaca sajaknya,
Malam lebaran
Bulan di atas kuburan
[Sitor Situmorang, 1955]
----
[Kepada Asap September, 2015]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H