Aku pergi menjumpai Api. Sendiri, hanya berteman teknologi.
Menyebrangi sungai yang sepi, menembusi kabut yang mistis, tiba jualah di tempat Api. Api, sedang sibuk. “Duduklah, ada sisa gambut dan kayu tua yang belum ku lumat”, perintahnya ketika tiba di tempatnya.
Aku diam saja, segan setengah mati. Bagaimana memulai percakapan dengannya ?
Maka aku memutar pandang ke segala arah, yang tersisa hanyalah keseimbangan alam yang terbakar rata. Daun menguning kecoklatan, batang-batang pohon menjadi arang, gambut menjadi debu. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang ringkih, seperti hidup manusia yang fana. Debu gambut yang beterbangan, helai hitamnya jatuh di pelupuk mata batin, “kalian masih mau main-main dengan api?”, tanyanya kemudian.
Aku diam saja, mau menjawab apa juga ?
Lalu Api datang menghampiri. “Aku tahu pada akhirnya kau akan datang kesini. Aku tahu kau membawa bekal pengetahuan yang diproduksi oleh instrumen-instrumen canggih, dari foto saltelit NASA, juga peralatan serupa GPS untuk mengidentifikasi kesesuaian koordinat. Aku juga tahu, sebisa mungkin, kau datang dengan peralatan keselamatan standar”, tembaknya tanpa basa basi.
Aku diam saja, memang bisa mengelak apa?
Jadi aku bertanya saja. “Kau tahu dari mana?”, tanyaku takut-takut. “Hahaha, memangnya kalian saja yang mempelajari jenisku, aku juga mempelajari jenis lalai dan alpa dari kalian!”balasnya sungguh tidak ramah.
Lalu aku memilih menepi, mengambil duduk di batang pohon Rasau yang setengah menghitam. “Dia membakar kami sepanjang malam, sampai sekarang belum berhenti”, galau Rasau kepadaku.
Aku diam saja, memang bisa menenangkan bagaimana ?
“Sabarlah”, jawab aku, lebih kepada diri sendiri.
***
Luasan yang dilumat Api terus saja membesar, pelan-pelan dan menyakitkan. Ia terus berjalan, dari tengah hingga ke pinggir, dari pinggir hingga ke seberang. Sungai-sungai yang mengering benar-benar membuat Api makin jumawa menjilati semua yang ringkih oleh kemarau panjang di hutan rawa gambut itu.
Aku masih duduk menunggu di batang pohon Rasau. Seekor Cucak Hijau terbang rendah, berbisik lebih jujur dari suara hati, “Diam saja, jangan merasa datang untuk berjuang, sedang kau tahu sendiri, itu sia-sia!”.
Aku hanya bisa diam, memangnya mau membantah bagaimana ?
“Kau belum pulang?”, tiba-tiba saja Api sudah berdiri di belakang telingaku.
Keringat mengucur deras, dikerubungi panas dan takut, seperti berdiri dalam dosa dan takdir penghakiman. “Kau takut?”, bertanya ia sengaja menguji nyaliku.
Api terus memutari takutku tiga kali. Entah jika ia melakukan itu sembari merapal mantera untuk membakar daging manusia. Aku terlalu takut, bahkan untuk menduga pun mengalami buntu.
“Kau datang untuk apa, wahai anak manusia?”, bertanya Api ketika mataku dan matanya saling menembus. Aku diam, takutku masih bertahta. “Aku melihat kabut di hatimu, kenapa?”, bertanya lagi ia tanpa kasihan. Api memang tidak pernah kenal kasihan jika sudah tiba di puncak kemarahannya.
“Kau takut ?”, bertanya lagi seperti enggan memberi jeda. Ia menatapku lekat-lekat, seperti menghitung denyut nadiku diam-diam. Dalam mata yang bicara, suasana bisa tiba-tiba hening. Dan, aku menjadi kehilangan cara untuk berdusta.
“Berani sekali kau ke sini. Kau datang sesudah tersisa sebagian kecil saja yang belum aku lumat. Kau datang ketika kemarau terlanjur tinggi, sungai-sungai mengering, air-air pergi ke tempat-tempat jauh. Kau datang tanpa sekutu, berani sekali!”, ceramahnya tajam menikam.
Aku diam saja, memang bisa membela diri bagaimana ?
“Kau pikir citra satelit, GPS, dan peralatan pemadaman akan bisa menghentikanku ? Pengetahuan dan alat-alat produk budaya kalian itu tidak pernah akan bisa mematikanku. Aku terus tetap akan hidup selama kalian terus saja tidak percaya bahwa aku, Air, Angin, dan Tanah mewakili unsur sejati dalam diri kalian”, bicaranya lagi menerangkan.
Aku diam saja. Takutku berhenti. Penasaranku mulai tumbuh. Unsur dasar yang membentuk diri manusia ? Mengapa sekarang ia, Api, terus menjadi musuh ? Seharusnyakan kita bersahabat, sebagaimana tangan terhadap mulut ketika lapar bukan ?
“Kau sudah tidak takut ?”, bertanya ia seolah menyengat rasa penasaranku.
Aku masih diam saja. Entah mau bicara apa.
“Kau mau tahu, mengapa kalian selalu kalah terhadap aku, juga air, angin dan tanah ?”, tanya Api lagi. Ia seperti hendak mempermaikan kesadaranku.
“Kalian terlalu berlebihan, lupa proporsi, abai pada esensi. Silau dengan hal-hal segera, memuja ihwal yang material. Kalian hanya mulai takut, bukan sadar, jika kami, empat elemen dasar ini, datang dengan kemarahan yang tanpa ampun. Apakah sebagai kebakaran, sebagai banjir, sebagai angin puting beliung, atau sebagai gempa bumi. Celakanya, dalam kitab-kitab rahasia hidup, sudah sejak zaman awal, hidup kalian hanya akan selamat jika tahu berlaku seimbang, pantas, sesuai proporsi, dan tidak memaksakan diri terhadap alam. Sadarlah, peradaban itu tumbuh dari kehalusan psiko-sosial kalian terhadap alam, bukan sebatas untuk kalian!”, katanya lagi, kali ini terdengar lebih sejuk.
Aku merasakan hawa yang hangat, Api seperti mengajak bersahabat. Rasa takutku berangsur surut.
“Boleh aku bertanya ?”, pintaku berharap.
“Apa yang ingin kau tahu?”, balasnya kemudian.
“Bagaimana menghentikan kemarahanmu, sebagaimana kemarahan air, angin dan tanah terhadap kami, bangsa manusia ?”, tanyaku segera.
“Kenalilah dirimu. Siapa yang kenali dirinya, akan kenali Penciptanya, Dia yang Maha mengendalikan kami”, jawabnya sembari menatap tajam.
Aku terus diam. Merasa tenang.
“Boleh aku pulang ?”, pintaku lagi.
“Silahkan”, jawab Api dengan tenang.
Aku lalu melompat ke dalam kobarannya. “Lumat aku, hanguskan egoku!”, pintaku terakhir kali.
-----
[Sungai Bakumin, Katingan, Kepada Kabut September 2015]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H