Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menjumpai Api

16 September 2015   20:35 Diperbarui: 16 September 2015   20:44 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***
Luasan yang dilumat Api terus saja membesar, pelan-pelan dan menyakitkan. Ia terus berjalan, dari tengah hingga ke pinggir, dari pinggir hingga ke seberang. Sungai-sungai yang mengering benar-benar membuat Api makin jumawa menjilati semua yang ringkih oleh kemarau panjang di hutan rawa gambut itu.

Aku masih duduk menunggu di batang pohon Rasau. Seekor Cucak Hijau terbang rendah, berbisik lebih jujur dari suara hati, “Diam saja, jangan merasa datang untuk berjuang, sedang kau tahu sendiri, itu sia-sia!”.

Aku hanya bisa diam, memangnya mau membantah bagaimana ?

“Kau belum pulang?”, tiba-tiba saja Api sudah berdiri di belakang telingaku.

Keringat mengucur deras, dikerubungi panas dan takut, seperti berdiri dalam dosa dan takdir penghakiman. “Kau takut?”, bertanya ia sengaja menguji nyaliku.

Api terus memutari takutku tiga kali. Entah jika ia melakukan itu sembari merapal mantera untuk membakar daging manusia. Aku terlalu takut, bahkan untuk menduga pun mengalami buntu.

“Kau datang untuk apa, wahai anak manusia?”, bertanya Api ketika mataku dan matanya saling menembus. Aku diam, takutku masih bertahta. “Aku melihat kabut di hatimu, kenapa?”, bertanya lagi ia tanpa kasihan. Api memang tidak pernah kenal kasihan jika sudah tiba di puncak kemarahannya.

“Kau takut ?”, bertanya lagi seperti enggan memberi jeda. Ia menatapku lekat-lekat, seperti menghitung denyut nadiku diam-diam. Dalam mata yang bicara, suasana bisa tiba-tiba hening. Dan, aku menjadi kehilangan cara untuk berdusta.

“Berani sekali kau ke sini. Kau datang sesudah tersisa sebagian kecil saja yang belum aku lumat. Kau datang ketika kemarau terlanjur tinggi, sungai-sungai mengering, air-air pergi ke tempat-tempat jauh. Kau datang tanpa sekutu, berani sekali!”, ceramahnya tajam menikam.

Aku diam saja, memang bisa membela diri bagaimana ?

“Kau pikir citra satelit, GPS, dan peralatan pemadaman akan bisa menghentikanku ? Pengetahuan dan alat-alat produk budaya kalian itu tidak pernah akan bisa mematikanku. Aku terus tetap akan hidup selama kalian terus saja tidak percaya bahwa aku, Air, Angin, dan Tanah mewakili unsur sejati dalam diri kalian”, bicaranya lagi menerangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun