Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai Merdeka Sebagai Laku Asketisme

16 Agustus 2015   12:18 Diperbarui: 16 Agustus 2015   12:18 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap peringatan hari kemerdekaan atau kelahiran sebuah bangsa, selalu semarak. Secara faktual, ada yang mewujud dalam lomba dan pertandingan, ada juga yang mewujud dalam seminar dan diskusti-diskusi, ada juga yang mewujud dalam kesemarakan tafsir sebagaimana terbaca pada banyak tulisan di Kompasiana, bahkan ada yang mewujud dalam aksi demonstrasi yang mengeritik pemerintah.

Kesemarakan perwujudan itu mewujudkan konfigurasi makna-maka yang diacu dan hendak disampaikan pesannya oleh para individu yang terlibat di dalamnya. Bukan tidak penting mendebat ekspresi-ekspresi maknawi dalam konteks berkontribusi nyata terhadap apa yang disebut mengisi Indonesia Merdeka, namun menurut saya ada satu segi yang penting diajukan sebagai satu tema diskusi awal dalam konteks mengisi Indonesia Merdeka tersebut. Tema yang hendak diajukan itu adalah mencoba menelisik basis atau kerangka berfikir yang menjadi rujukan dari mana satu tindakan maknawi--yang kita sebut sebagai “mengisi Kemerdekaan”-- itu dimungkinkan terwujud an ikut terlibat membentuk dunia sosial sehari-hari.

Adalah Kompasianer Felix Tani yang mendorong tema ini muncul lewat pertanyaannya : apakah kemerdekaan itu semacam asketisme ? Rasanya begitu akhir-akhir ini. Tanya seperti ini adalah jenis tanya yang berat dalam mencari jawab teoritisnya. Selain juga, tidak terlalu gamblang, apakah mencermin satu kesangsian atau justru sikap positif.

Pertanyaan Felix Tani ini diajukannya dalam komentar terhadap cerpen saya yang berjudul Ikrar Tiga Kehadiran. Cerpen Ikrar Tiga Kehadiran adalah satu tuturan filosofis yang mengambil settingnya dalam dialog simbolik, antara Tiang Bendera, Pohon Mangga, dan Menara Masjid. Tuturan filosofis pada cerita tersebut bisa juga dipandang sebagai usaha pribadi mencari satu Insight, satu titik pijak “rasional-moral”, yang mencari pemaknaan akan hidup (pasca) merdeka yang sekurang-kurangnya secara deklaratif sudah berusia 70 tahun. Pada cerpen ini, saya mencari satu bingkai rasional-moral dalam istilah transendensi-historis. Dimana transendensi historis itu juga berusaha menunjukkan satu basis moral-spiritual yang disimbolkan pada Menara Mesjid dan bersatu makna dengan patriotisme dan cinta tanah air melalui Tiang Bendera yang dibutuhkan negeri tropis kaya raya yang disimbolkan melalui Pohon Mangga Kuwini.

Sebelum kemunculan Ikrar Tiga Kehadiran, saya juga berusaha mencari insight tersebut pada sosok Firman, yang dengan lagaknya seolah murid Edmund Husserl, berusaha “mengarsipkan kenyataan” secara fenomenologis. Firman dalam cerpen Bendera yang lebih mencoba berdialog secara sosiologis, adalah sosok yang mengalami keterasingan individual lagi sosial. Dalam keterasingan itu, ia berusaha mencari makan menjadi merdeka pada kekinian yang justru sibuk dan berulang (keseharian hampa senyuman). Bahkan anak-anak yang mewakili dunia yang ceria, jujur dan tiada dosa, juga terlanjur “terkolonisasi oleh keterasingan”, menjadi seperti dunia orang dewasa. Singkat kata, jika generasi Soekarno-Hatta menempuh jalan pengasingan untuk merdeka, kita sedang menempun jalan keterasingan untuk kembali merdeka (?).

Pertanyaan sahabat Felix Tani di atas—apakah kemerdekaan itu semacam asketisme ?—sepertinya mendesak-desak untuk terlibat dalam menyusun basis rasional-moral tersebut. Saya tergerak untuk mencoba mencari jawab untuk itu. Sedari awal, saya sepenuhnya sadar jikalau pencaharian ini tidaklah untuk menemukan hal baru, namun sebatas untuk mencari sedikit penyegaran, syukur bisa mengingatkan yang mungkin terlupakan.

Kemerdekaan Sebagai Laku Asketis

Asketisme sendiri, sepemahaman saya, adalah tipe tindakan rasional nilai-bertujuan (Wetrarationalitaat). Yakni jenis tindakan manusia rasional yang berbasis pada dasar moral atau nilai tertentu yang diarahkan secara sadar untuk mencapai tujuan (luhur) tertentu. Berbeda dengan rasionalitas instrumental, yang sangat mengutamakan penggunaan prinsip efektifitas, efisiensi, prediksi dan kontrol, sebagaimana mendominasi inti nilai ekonomi kapitalisme.

Menyebut kemerdekaan sebagai asketisme ada dalam jenis tindakan pertama tadi, yakni rasionalitas berbasis nilai atau tindakan rasional yang berbasis pada nilai-nilai merdeka. Dalam realisasi tindakan nyata, nilai-nilai merdeka adalah rujukan sekaligus bingkai aturan mainnya.

Jadi, secara historis, kemerdekaan bisa juga merupakan capaian asketis, dimana para pendahulu negeri dengan preferensi moral dan ideologinya,mengorbankan kesenangan pribadinya berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan itu. Dalam konsepsi Max Weber yang mengenalkan konsep asketisme dalam dunia ketika menelisik hubungan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, kemerdekaan itu adalah pangggilan suci untuk bertindak,mengurangi kenikmatan dunia demi kemerdekaan semua orang yang belum tentu saling kenal. Dengan kata lain, kemerdekaan sebagai sesuatu yang abstrak itu diwujudkan secara nyata ke dalam dunia yang riil, nyata dan berdinamika.

Panggilan suci ini memiliki referensinya pada, paling kurang, dua hal. Pertama, pada cita-cita mendirikan Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 itu, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta kedua, sumbernya adalah pada pengalaman dan pergumulan faktual-emosional kita sehari-hari, yakni ketika berjumpa dan bergelut dengan kemiskinan, ketimpangan, kebodohan, juga diskriminasi dan ketidakadilan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun