Dua sumber ini, yang juga mewakili pertemuan teks dan konteks, secara dialektis akan membentuk perangkat nilai dalam diri anak bangsa yang meyakini dan menjalankannya. Ia tidak akan relevan, bukan mungkin menjadi sumber yang negatif, bagi mereka yang berdiri di sisi lain acuan rasional dan moral dari apa yang disebut kemerdekaan itu.
Selain itu, memaknai kemerdekaan adalah juga, bagi kita hari ini, memaknai dan meneruskan satu panggilan suci, semacam “jihad kebangsaan”, untuk merealisasi dasar moral dan tujuan seperti pada pembukaan UUD 1945 tersebut.
Secara individual, dapat pula dimaknai sebagai satu panggilan suci yang mengeliminasi maksud-maksud dan pamrih pribadi, kecenderungan suka nerabas, instanisme, dan korup, suka menumpuk dan pamer kekayaan material di depan penderitaan dan kemiskinan saudara sebangsanya, demi realisasi kesejahteraan, kemakmuran, kedamaian dan kebahagian bersama seluruh anak bangsa. Laku asketis serupa ini sudah diajarkan agama-agama besar, sebagai ajaran untuk mengekang diri dari penjajahan kenikmatan duniawi, seperti dalam laku puasa.
Secara kolektif, panggilan suci itu adalah satu praksis pembebasan diri pembebasan sosial dari kecenderungan satu kelompok menista kelompok yang lain, satu kelompok menindas kelompok yang lain, satu kelompok memiskinkan kelompok yang lain yang dilakukan secara sengaja dan telanjang maupun dalam aksi konspiratif yang canggih dengan menggunakan alat-alat negara.
Panggilan suci, atau orientasi asketis dari kemerdekaan yang seperti ini, pada hemat saya, telah hidup dalam ruang batin banyak manusia Indonesia; sudah terindividuasi menurut posisi sosial-ekonominya masing-masing. Seorang guru akan memaknai panggilan suci kemerdekaan ini tentu berbeda dengan seorang petani. Demikian juga seorang politisi dan akademisi, seorang lelaki dan perempuan. Tantangan yang ditagih oleh kenyataan, karena “asketisme kemerdekaan” bukanlah eskapisme, adalah praksis yang konsisten dan sungguh-sungguh tanpa mengenal ruang dan waktu.
Contoh historis yang menonjol pada dimensi religio-akademik misalnya, spirit asketis ini juga mengawinkan ke dalam dirinya orientasi profetik, sebagaimana pernah coba disusun oleh beberapa pemikir Indonesia. Salah satunya adalah Kuntowijoyo, seorang intelektual Islam, yang pernah mengenalkan pendekatan Ilmu Sosial Profetik, lalu Moeslim Abdurahman dengan Islam Transformatifnya, yang menyoroti spirit pembebasan dan transformasi sosial dari agama dan ilmu sosial bagi masyarakat Indonesia yang plural.
Sebelum itu, telah ada Nurcholis Madjid dengan pendekatan Modernisme Islam juga Tradisionalisme Progresif dari Gus Dur, yang berusaha melihat ajaran Islam sebagai kekuatan rasional-moral dalam mendorong Indonesia yang lebih mengedapankan nilai-nilai seperti perlindungan kemanusiaan serta penghargaan dan perlindungan pada kemajemukan. Termasuk juga disini pikiran dan aktivitas Romo Mangunwijaya serta Th. Sumartana yang terus mewujudkan praktik teologi hidup berbangsa yang menjaga kemanusiaan dan kebangsaan sebagai wujud memaknai kemerdekaan.
Tentu saja kita tidak hendak menjadi Gus Dur atau Romo Mangunwijaya, namun mengambil pelajaran dari apa yang sudah mereka lalukan, dengan mendialogkan secara konsisten ajaran agama dan masa depan kemanusiaan, kita bisa melihat satu laku asketis dari kemerdekaan khas manusia Indonesia.
Berangkat dari sedikit penjelasan dan beberapa gambaran contoh, saya kira yang menjadi “pertanggungjawaban historis” generasi hari ini adalah menjaga spirit/orientasi asketis dari kemerdekaan itu sebagai basis rasional-moral dari tindakan mengisi dan menjaga kemerdekaan seperti apa pun posisi sosial-ekonominya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H