Setiap peringatan hari kemerdekaan atau kelahiran sebuah bangsa, selalu semarak. Secara faktual, ada yang mewujud dalam lomba dan pertandingan, ada juga yang mewujud dalam seminar dan diskusti-diskusi, ada juga yang mewujud dalam kesemarakan tafsir sebagaimana terbaca pada banyak tulisan di Kompasiana, bahkan ada yang mewujud dalam aksi demonstrasi yang mengeritik pemerintah.
Kesemarakan perwujudan itu mewujudkan konfigurasi makna-maka yang diacu dan hendak disampaikan pesannya oleh para individu yang terlibat di dalamnya. Bukan tidak penting mendebat ekspresi-ekspresi maknawi dalam konteks berkontribusi nyata terhadap apa yang disebut mengisi Indonesia Merdeka, namun menurut saya ada satu segi yang penting diajukan sebagai satu tema diskusi awal dalam konteks mengisi Indonesia Merdeka tersebut. Tema yang hendak diajukan itu adalah mencoba menelisik basis atau kerangka berfikir yang menjadi rujukan dari mana satu tindakan maknawi--yang kita sebut sebagai “mengisi Kemerdekaan”-- itu dimungkinkan terwujud an ikut terlibat membentuk dunia sosial sehari-hari.
Adalah Kompasianer Felix Tani yang mendorong tema ini muncul lewat pertanyaannya : apakah kemerdekaan itu semacam asketisme ? Rasanya begitu akhir-akhir ini. Tanya seperti ini adalah jenis tanya yang berat dalam mencari jawab teoritisnya. Selain juga, tidak terlalu gamblang, apakah mencermin satu kesangsian atau justru sikap positif.
Pertanyaan Felix Tani ini diajukannya dalam komentar terhadap cerpen saya yang berjudul Ikrar Tiga Kehadiran. Cerpen Ikrar Tiga Kehadiran adalah satu tuturan filosofis yang mengambil settingnya dalam dialog simbolik, antara Tiang Bendera, Pohon Mangga, dan Menara Masjid. Tuturan filosofis pada cerita tersebut bisa juga dipandang sebagai usaha pribadi mencari satu Insight, satu titik pijak “rasional-moral”, yang mencari pemaknaan akan hidup (pasca) merdeka yang sekurang-kurangnya secara deklaratif sudah berusia 70 tahun. Pada cerpen ini, saya mencari satu bingkai rasional-moral dalam istilah transendensi-historis. Dimana transendensi historis itu juga berusaha menunjukkan satu basis moral-spiritual yang disimbolkan pada Menara Mesjid dan bersatu makna dengan patriotisme dan cinta tanah air melalui Tiang Bendera yang dibutuhkan negeri tropis kaya raya yang disimbolkan melalui Pohon Mangga Kuwini.
Sebelum kemunculan Ikrar Tiga Kehadiran, saya juga berusaha mencari insight tersebut pada sosok Firman, yang dengan lagaknya seolah murid Edmund Husserl, berusaha “mengarsipkan kenyataan” secara fenomenologis. Firman dalam cerpen Bendera yang lebih mencoba berdialog secara sosiologis, adalah sosok yang mengalami keterasingan individual lagi sosial. Dalam keterasingan itu, ia berusaha mencari makan menjadi merdeka pada kekinian yang justru sibuk dan berulang (keseharian hampa senyuman). Bahkan anak-anak yang mewakili dunia yang ceria, jujur dan tiada dosa, juga terlanjur “terkolonisasi oleh keterasingan”, menjadi seperti dunia orang dewasa. Singkat kata, jika generasi Soekarno-Hatta menempuh jalan pengasingan untuk merdeka, kita sedang menempun jalan keterasingan untuk kembali merdeka (?).
Pertanyaan sahabat Felix Tani di atas—apakah kemerdekaan itu semacam asketisme ?—sepertinya mendesak-desak untuk terlibat dalam menyusun basis rasional-moral tersebut. Saya tergerak untuk mencoba mencari jawab untuk itu. Sedari awal, saya sepenuhnya sadar jikalau pencaharian ini tidaklah untuk menemukan hal baru, namun sebatas untuk mencari sedikit penyegaran, syukur bisa mengingatkan yang mungkin terlupakan.
Kemerdekaan Sebagai Laku Asketis
Asketisme sendiri, sepemahaman saya, adalah tipe tindakan rasional nilai-bertujuan (Wetrarationalitaat). Yakni jenis tindakan manusia rasional yang berbasis pada dasar moral atau nilai tertentu yang diarahkan secara sadar untuk mencapai tujuan (luhur) tertentu. Berbeda dengan rasionalitas instrumental, yang sangat mengutamakan penggunaan prinsip efektifitas, efisiensi, prediksi dan kontrol, sebagaimana mendominasi inti nilai ekonomi kapitalisme.
Menyebut kemerdekaan sebagai asketisme ada dalam jenis tindakan pertama tadi, yakni rasionalitas berbasis nilai atau tindakan rasional yang berbasis pada nilai-nilai merdeka. Dalam realisasi tindakan nyata, nilai-nilai merdeka adalah rujukan sekaligus bingkai aturan mainnya.
Jadi, secara historis, kemerdekaan bisa juga merupakan capaian asketis, dimana para pendahulu negeri dengan preferensi moral dan ideologinya,mengorbankan kesenangan pribadinya berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan itu. Dalam konsepsi Max Weber yang mengenalkan konsep asketisme dalam dunia ketika menelisik hubungan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, kemerdekaan itu adalah pangggilan suci untuk bertindak,mengurangi kenikmatan dunia demi kemerdekaan semua orang yang belum tentu saling kenal. Dengan kata lain, kemerdekaan sebagai sesuatu yang abstrak itu diwujudkan secara nyata ke dalam dunia yang riil, nyata dan berdinamika.
Panggilan suci ini memiliki referensinya pada, paling kurang, dua hal. Pertama, pada cita-cita mendirikan Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 itu, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta kedua, sumbernya adalah pada pengalaman dan pergumulan faktual-emosional kita sehari-hari, yakni ketika berjumpa dan bergelut dengan kemiskinan, ketimpangan, kebodohan, juga diskriminasi dan ketidakadilan manusia.
Dua sumber ini, yang juga mewakili pertemuan teks dan konteks, secara dialektis akan membentuk perangkat nilai dalam diri anak bangsa yang meyakini dan menjalankannya. Ia tidak akan relevan, bukan mungkin menjadi sumber yang negatif, bagi mereka yang berdiri di sisi lain acuan rasional dan moral dari apa yang disebut kemerdekaan itu.
Selain itu, memaknai kemerdekaan adalah juga, bagi kita hari ini, memaknai dan meneruskan satu panggilan suci, semacam “jihad kebangsaan”, untuk merealisasi dasar moral dan tujuan seperti pada pembukaan UUD 1945 tersebut.
Secara individual, dapat pula dimaknai sebagai satu panggilan suci yang mengeliminasi maksud-maksud dan pamrih pribadi, kecenderungan suka nerabas, instanisme, dan korup, suka menumpuk dan pamer kekayaan material di depan penderitaan dan kemiskinan saudara sebangsanya, demi realisasi kesejahteraan, kemakmuran, kedamaian dan kebahagian bersama seluruh anak bangsa. Laku asketis serupa ini sudah diajarkan agama-agama besar, sebagai ajaran untuk mengekang diri dari penjajahan kenikmatan duniawi, seperti dalam laku puasa.
Secara kolektif, panggilan suci itu adalah satu praksis pembebasan diri pembebasan sosial dari kecenderungan satu kelompok menista kelompok yang lain, satu kelompok menindas kelompok yang lain, satu kelompok memiskinkan kelompok yang lain yang dilakukan secara sengaja dan telanjang maupun dalam aksi konspiratif yang canggih dengan menggunakan alat-alat negara.
Panggilan suci, atau orientasi asketis dari kemerdekaan yang seperti ini, pada hemat saya, telah hidup dalam ruang batin banyak manusia Indonesia; sudah terindividuasi menurut posisi sosial-ekonominya masing-masing. Seorang guru akan memaknai panggilan suci kemerdekaan ini tentu berbeda dengan seorang petani. Demikian juga seorang politisi dan akademisi, seorang lelaki dan perempuan. Tantangan yang ditagih oleh kenyataan, karena “asketisme kemerdekaan” bukanlah eskapisme, adalah praksis yang konsisten dan sungguh-sungguh tanpa mengenal ruang dan waktu.
Contoh historis yang menonjol pada dimensi religio-akademik misalnya, spirit asketis ini juga mengawinkan ke dalam dirinya orientasi profetik, sebagaimana pernah coba disusun oleh beberapa pemikir Indonesia. Salah satunya adalah Kuntowijoyo, seorang intelektual Islam, yang pernah mengenalkan pendekatan Ilmu Sosial Profetik, lalu Moeslim Abdurahman dengan Islam Transformatifnya, yang menyoroti spirit pembebasan dan transformasi sosial dari agama dan ilmu sosial bagi masyarakat Indonesia yang plural.
Sebelum itu, telah ada Nurcholis Madjid dengan pendekatan Modernisme Islam juga Tradisionalisme Progresif dari Gus Dur, yang berusaha melihat ajaran Islam sebagai kekuatan rasional-moral dalam mendorong Indonesia yang lebih mengedapankan nilai-nilai seperti perlindungan kemanusiaan serta penghargaan dan perlindungan pada kemajemukan. Termasuk juga disini pikiran dan aktivitas Romo Mangunwijaya serta Th. Sumartana yang terus mewujudkan praktik teologi hidup berbangsa yang menjaga kemanusiaan dan kebangsaan sebagai wujud memaknai kemerdekaan.
Tentu saja kita tidak hendak menjadi Gus Dur atau Romo Mangunwijaya, namun mengambil pelajaran dari apa yang sudah mereka lalukan, dengan mendialogkan secara konsisten ajaran agama dan masa depan kemanusiaan, kita bisa melihat satu laku asketis dari kemerdekaan khas manusia Indonesia.
Berangkat dari sedikit penjelasan dan beberapa gambaran contoh, saya kira yang menjadi “pertanggungjawaban historis” generasi hari ini adalah menjaga spirit/orientasi asketis dari kemerdekaan itu sebagai basis rasional-moral dari tindakan mengisi dan menjaga kemerdekaan seperti apa pun posisi sosial-ekonominya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H