Kemarin sore, pukul 15.00 WIB, dengan bis berpendingin AC, saya berangkat ke Sampit dari Palangkaraya. Tiba di ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur ini, sudah sekitar jam 21.00 WIB. Karena besok pagi-pagi hendak berangkat lagi dengan perahu kelotok, saya memilih nginap di hotel tepi sungai. Sebuah hotel
Dermaga itu sendiri menyediakan layanan perahu bermesin atau yang sering disebut Kelotok oleh penduduk lokal. Kelotok itu bisa bisa menampung 20-30 orang. Sering juga digunakan untuk membawa minyak (BBM) dan hasil panen warga yang berada di wilayah-wilayah pertanian di Kabupaten Katingan. Untuk sedikit keterangan tentang DAS Mentaya, dapat dibaca di sini.
Bangun pagi, saya lalu mengambil kamera digital dan berjalan ke belakang hotel. Berada di lantai 2, pemandangan DAS Mentaya mungkin lebih bagus dan penting untuk diabadikan. Maka sibuklah saya mengambil beberapa gambar. Seorang Ibu yang sedang mencuci, terheran-heran. Kemungkinan dia berfikir, pasti orang baru. Maka saya mulai mengabadikan pagi yang merangkak di DAS Mentaya. [caption id="attachment_412326" align="aligncenter" width="566" caption="Kabut masih menutup DAS Mentaya/dok.pri"]
Bisa jadi kapal itu adalah kapal pengangkut minyak sawit. [caption id="attachment_412327" align="aligncenter" width="566" caption="Kelotok masih rapi diparkir/dok.pri"]
Di Kabupaten Katingan, ada beberapa sentra pertanian, baik yang dikelola oleh kaum transmigran pun penduduk asli, dan perikanan tangkap yang secara rutin mengirim hasil panen mereka ke Sampit. Kelotok-kelotok inilah yang merupakan alat angkut utama.
Pada musim buah kemarin, saya sempat berangkat dengan perahu Kelotok yang penuh dengan buah-buahan. [caption id="attachment_412328" align="aligncenter" width="561" caption="Arah hilir DAS Mentaya/dok.pri"]
***
Menikmati kabut di pagi yang malas adalah menikmati ketenangan yang samar-samar. Kesamaran yang seolah memberi pesan alam selalu memiliki cara menyembunyikan sisi tertentu dari dirinya. Sisi yang tidak selalu bisa kita tembus dengan identifikasi pengetahuan.
Tentang alam yang tidak bisa kita identifikasi dengan pengetahuan manusia, saya jadi ingat kuliah Romo Setyo Wibowo di Salihara tentang pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900). Kuliah yang membahas pemikiran salah satu perintis tradisi posmodernisme tentang Kebutuhan dan Kehendak. Kuliah yang berdurasi 2 jam 5 menit 30 detik itu bisa ditonton di Youtube, di sini.
Nietzsche memiliki etos seorang pengembara, juga memiliki pengalaman akan sakit yang kelam. Point penting dari pemikiran Nietzsche, bagi Romo Setyo, adalah teorinya tentang kehendak. Manusia selalu membutuhkan sesuatu untuk mengukuhkan dirinya. Untuk keharusan mengutuh-kukuhkan dirinya itu, lahirlah kebutuhan akan pegangan. Demikian ringkasnya. Romo Setyo Wibowo juga menegaskan bahwa pengalaman sakit dan seorang pengembara membawa Nietzsche memahami filsafat sebagai seni transfigurasi. Seni untuk memberi bentuk-bentuk yang berbeda atas kenyataan. Bahan baku untuk filsafat seperti ini adalah pengalaman kebertubuhan kita, pada pengalaman-pengalaman yang menghentak, khususnya tentang peristiwa yang kelam, getir, dan meluluhlantakkan kedirian.
Ada frasa menarik yang diterang Romo Setyo Wibowo tentang filsafat Nieztsche dalam kaitan dengan penyamaran. Nietzsche adalah filsuf yang menegaskan jika yang ada hanyalah penyamaran, permukaan, selubung, atau topeng. Di balik itu, tidak ada makna, tidak ada kebenaran. Manusia dengan "kehendak yang sakit atau cacat" bisa memainkan lakon penyamaran terhadap sesamanya. Sampai disini, saya lalu terpikir.
Kegagalan kita memahami atau "memberi bentuk" (: menyusun pengetahuan yang benar) pada penampakan alam raya bisa mengakibatkan kekosongan yang serius dalam kedirian manusia. Mungkin kekosongan itu yang mengakibatkan satu rasa sendiri, takut, cemas dan tak berdaya. Kita terus berusaha memberi bentuk tadi lewat segala rupa upaya yang mewujud dalam filsafat, seni, atau sains.
Tapi, tetap saja tersedia satu ruang yang dimana kita tidak bisa sepenuhnya memahami alam. Atau dengan kata lain, masih saja ada satu jejak yang tak bernama dari kehadiran alam, masih saja ada kehadiran yang deformatif alias tidak berbentuk. Koherensi yang dibayangkan dalam kesatuan seimbang dalam relasi alam makrokosmos dan mikrokosmos, oleh mata tajam Nietzsche, bisa jadi adalah selubung, permukaan yang dipaksakan.
Pada dasarnya, relasi seperti itu sengaja diadakan agar manusia memiliki pengangan, sebagai cara untuk menutupi kebutuhan akan rasa percaya. Barangkali seperti itu. Tapi, adalah lebih baik kuliah Romo Setyo Wibowo disimak berkali-kali untuk menemukan maksud yang lebih terang dari Nietzsche. Lantas, ketika menyimak kabut di atas DAS Mentaya tadi, saya melihat sisi yang tidak terjamah, yang menyelubungi apa-apa yang tidak bisa saya lihat dan bisa saya lihat.
Sebagaimana ketika saya menikmati Senja Yang Berpuisi di DAS Katingan. Ini bukan semata daya jangkau mata, tetapi juga daya sibak pengetahuan. Alam selalu bisa berdiri tegak persis ketika pengetahuan dan nafsu kuasa manusia berusaha melipat-remukkannya.
Selalu ada daulat tertentu yang selalu tertawa terbahak-bahak ketika manusia berusaha memahami dengan sangat serius gejala-gejala yang disemburkannya. Untuk kebutuhan sendiri, saya memang harus lebih dalam memahami lagi pemikiran manusia yang memberi pukulan palu pada klaim-klaim modermisme. Dan, selalu lebih rajin menikmati pagi, dengan kabut atau tidak.
"Alam suka menyembunyikan dirinya', kata filsuf Herakleitos (550-480 SM). Saya rasa kata-kata ini masih benar. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H